[Cerita Promil] Alasanku Melakukan Laparoskopi Ovarian Drilling (LOD)

 Bandung menjelang akhir tahun tampak ramai. Sore kemarin aku datang lagi ke RSIA Graha Bunda sesuai anjuran perawat. 

Seperti jam-jam padat penduduk, meskipun melewati jalan tikus, jalanan kota Bandung hanya menyisakan sedikit ruang. Sisanya sesak dengan kendaraan. Suara klakson tanda tak sabar, motor saling menyalip ke ruang sempit. Mobil yang asal parkir membuat jalan kecil semakin awut-awutan. Untung cuaca hari itu bersahabat, biasanya hujan mengguyur sejak siang.

Empat puluh lima menit berlalu dan aku sudah menginjakkan kaki di Graha Bunda. Protokol kesehatan diterapkan cukup ketat. Setelah mencuci tangan, cek suhu tubuh, selanjutnya melakukan wawancara singkat sebagai screening antisipasi covid. Kondisi tubuhku baik, lalu diberi karcis untuk mengantre.

Tidak butuh waktu lama hingga nomor antreanku dipanggil. Aku mengisi beberapa form pasien baru, kemudian diarahkan menuju meja perawat yang berada tak jauh dari meja registrasi. Rumah sakit ini ternyata tidak begitu besar. Hampir semua loket pelayanan berada berdekatan. Di belakang meja perawat adalah kasir, tepat di sebelahnya loket farmasi.

Kakiku melangkah menuju meja yang tak jauh dari pandangan mata. Kembali perawat menanyakan riwayat kesehatanku, kemudian kuberikan surat rujukan untuk penjadwalan Laparoscopy Ovarian Drilling (LOD) dari dr. Mulya. Agak lama kami mengobrol karena keputusanku untuk melakukan LOD terkesan mendadak. Padahal aku sudah memikirkan ini secara matang selama setahun terakhir.

Mungkin orang bertanya-tanya, mengapa aku melakukan ikhtiar sejauh itu? Mengapa memutuskan untuk operasi? Memang tidak bisa dengan alternatif? Kenapa tidak menunggu hamil alami? Nanti juga bakal dikasih, kok—ucap seseorang yang diberi keturunan dengan cepat, dimudahkan hamil dan memiliki keturunan, oleh Yang Maha Kuasa.

 Juga rentetan pertanyaan lain yang selalu aku dengar bahkan sudah kutebak hanya dengan melihat air muka mereka. 

Berbicara tentang ikhtiar, lima tahun tidak kujalani cuma-cuma. Tahun pertama, tahun kedua kuusahakan sekuat tenaga hingga aku lupa yang lebih penting adalah menerima keadaan. Tahun ketiga mulai menyadari kalau diriku sangat tak berdaya, tertekan hingga membuka sosial media saja membuat tanganku gemetar. Tahun keempat semua energi negatif yang ada di dalam diriku mulai menguap. Alhamdulillah tahun kelima aku mulai bisa berpikir jernih dan bersiap untuk meghadapi apapun yang akan terjadi.

Nyaris setiap hari aku ketakutan. Pernah sekali waktu aku membuka twitter dan membaca tulisan seperti ini; jika kita gelisah dengan kehidupan, mungkin kita terlalu jauh ikut campur dengan urusan Tuhan. Jadi mulai dari situ, aku mulai melatih diri untuk lebih pasrah dan mengalihkan pikiran dengan berbagai aktivitas. Supaya tak menjadikan anak sebagai standar kebahagiaan. Bisa jadi selama ini aku tertekan karena sudut pandangku tentang anak justru membuatku terlalu banyak berandai-andai. Semakin hari, langkahku terasa semakin mantap. Tidak berjalan di masa lalu apalagi di masa depan. Kakiku berpijak di masa kini. Aku hanya perlu melakukan yang aku bisa sekarang, selebihnya biar Allah Swt. yang bekerja.


Sebelum badai covid datang, aku sempat melakukan program hamil bersama dr. Mulya di RSHS, Klinik Aster. Namun, terhenti karena covid, dan aku masih tidak mengerti dengan apa yang aku lakukan. Untungnya, hampir semua pemeriksaan dasar sudah dilakukan. Jadi, semua yang diperlukan untuk melanjutkan promil sudah terpenuhi.


Berbagai pengobatan alternatif sudah dilakukan; akupuntur, akupresur, bekam, diet ketat, minum habbats, madu, buah zuriat, teh rumput kebar. Bisa dibilang, hampir semua jejak keberhasilan orang sudah aku ikuti. Hanya saja, aku masih takut mengambil tindakan medis. Selanjutnya, ikhtiar yang belum aku coba—sekaligus kutakuti— adalah LOD. Sebenarnya aku sudah disarankan LOD sejak tahun 2019 karena sudah berbagai upaya aku lakukan, tapi memang belum berhasil. Jadi, sudah saatnya aku mencoba jalan lain. Aku mencoba menaklukan diriku sendiri untuk berdamai dan memberanikan diri. Aku sering bermimpi sedang menanjak, tapi setiap nyaris tiba di puncak, aku selalu takut dan berakhir tak sampai di sana.

Berdamai dengan diri sendiri bukan pekerjaan mudah. Setiap orang memiliki cara sendiri untuk healing, memiliki waktu yang juga berbeda. Mungkin sekarang mimpi dan kenyataanku mulai bisa melebur sehingga aku lebih siap menerima segala keputusan. Nyatanya, keinginanku untuk memiliki keturunan lebih besar daripada ketakutanku. Jadi, dengan yakin aku akan menempuh jalur LOD. Mudahkanlah ikhtiar kami ya Rabb.

***


Selepas magrib, aku melamun menatap kaca bening di tengah lobby Graha Bunda. Di luar sana, meskipun gelap, aku masih bisa melihat sedikit pepohonan dan riak air dari kolam ikan. Suara-suara masuk dan keluar telinga bergantian. Suara panggilan pasien, obrolan sepasang suami istri di belakang tempatku duduk, suara bayi-bayi menangis. 

Seteguk air mineral baru saja melintas di kerongkongan. Seorang perawat menghampiri dan mengajaku ke ruang konsultasi. Rupanya dr. Mulya mendahulukanku untuk berkonsultasi. 

Ketika pintu ruang poli kandungan dibuka, hawa dingin dari AC langsung menusuk tulang. Aku dipersilakan duduk dan kami mulai mendiskusikan rencana laparoskopi. Sebelum melakukan tindakan, aku diberi obat dulu agar haid dan diminta datang di minggu depan. Tidak lupa aku masih harus tetap mengonsumsi metformin dan inlacin untuk membantu menurunkan kadar LH.

Seminggu kemudian aku kembali ke Graha Bunda. Rencana laparoskopi semakin matang, dokter memberikan berbagai dokumen penunjang. Setelah mengobrol sebentar, perawat memintaku mengikutinya.

Di meja perawat, aku diminta mengisi berbagai form. Wawancara singkat juga dilakukan. Akhirnya, aku diminta untuk melakukan tes lab, tes EKG, dan rontgen. Laparoskopi direncakan akan dilaksanakan tanggal 14 Januari 2022. Tetapi, di tanggal 12 Januari aku harus datang untuk melakukan tes-tes tersebut.


Komentar