PERJALANAN MENGIKUTI ARAH MUSIM
oleh Ismi Aliyah
Judul : Arah Musim
Penulis :
Kurniawan Gunadi
Penerbit :
Penerbit Bentang
Ketebalan :
188 hlm. ; 20,5 cm
ISBN :
ISBN 978-602-291-648-2 (cetakan ke-4, Juni 2020)
Seperti dalam lirik lagu Ari Lasso, memang benar bahwa segala yang terjadi dalam hidup ini adalah misteri Illahi. Bagi manusia, hidup adalah ketidakpastian. Satu-satunya kepastian bagi makhluk bernyawa hanyalah kematian—itu pun tak tahu kapan—. Kiranya penulis ingin merangkum rentetan rahasia kehidupan dalam buku berjudul Arah Musim. Sejenak buku ini mengajak kita untuk duduk merenung, kembali mengingat segala peristiwa yang sudah terjadi di dalam kehidupan, segala keresahan yang sedang dialami, ketakutan akan masa depan yang bahkan belum kita hadapi. Bersama buku ini, kita becermin pada diri sendiri.
Arah
Musim terdiri atas 6 bab, masing-masing memiliki 15-20an subjudul. Relatif
banyak untuk sebuah buku yang tebalnya tidak sampai 200 halaman. Meskipun
diberi label novel, tetapi di dalamnya adalah kumpulan cerpen dan fiksi mini.
Hanya ada satu cerita yang memiliki keterkaitan antarjudul, selebihnya tidak. Setiap
judul berdiri sebagai cerita utuh dengan makna berbeda. Namun, setiap bab memiliki
benang merah yang menjadi tema cerita. Secara keseluruhan, buku ini mengangkat
tema yang dekat dengan setiap manusia seperti kelahiran, keluarga, kematian,
serta perasaan sedih, senang, kecewa, dsb.
Hidup
tak selalu bahagia, tapi tak melulu bermuram durja. Ada yang membuat kita putus
asa, tapi selalu ada alasan bagi kita untuk bertahan dan berjuang dengan
segenap harapan yang ada. Perjalanan hidup ada yang kita benci, ada pula yang kita
sukai. Bagian menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan keinginan adalah PR
besar bagi kita untuk menerima dengan lapang dada.
Bab pertama
novel ini menjadi pengantar untuk menghadapi siklus kehidupan. Cerita seputar
kelahiran, keluarga harmonis, keputusasaan, kebahagiaan, kesedihan dan kematian
menjadi tema yang cukup untuk menggambarkan bahwa roda kehidupan berputar. “Diri ini disiapkan oleh-Nya untuk menemui
kebahagiaan dan kesedihan. Namun, kita merasa tidak siap terhadap kesedihan…Suatu
hari kita akan mengalaminya. Entah kapan. Entah di mana. Entah oleh siapa.”
(Gunadi, Arah Musim, hlm. 6).
Memasuki
bab kedua, permasalahan yang diangkat menjadi lebih kompleks. Cerita didominasi
oleh tema keluarga. Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua keluarga
baik-baik saja. Ada yang hubungan anak-orang tua berjarak sangat jauh, ada yang
keluarganya berantakan. Masing-masing keluarga selalu memiliki pengorbanan ibu
yang menyentuh hati. Tak hanya itu, dalam bab ini gambaran dalam pengambilan
keputusan tentang memilih pasangan atau perjuangan juga menjadi cerita yang
menarik.
Pada bab kedua terdapat
cerita yang menjadi nyawa buku ini seperti pada kutipan berikut.
“Adakalanya
kita harus mengalah pada angin, biar kita diempas dan tak perlu memikirkan
kemana kita jatuh. Adakalanya kita harus mengalah pada arus, biar kita mengalir
ke tempat-tempat jauh yang tak kita tahu.” (Gunadi, Arah Musim, hlm. 74).
Singkatnya, selain harus berjuang sekuat tenaga, adabaiknya
kita menyerahkan hasil dan takdir pada Sang Maha Pencipta. Melalui
cerita-cerita pada bab kedua, mulai terlihat kalau penulis membawa cerita ini
dengan pendekatan agama.
Dalam agama
Islam, terdapat istilah tawakal. Imam Al-Ghazali (dalam Supriyanto, 2010)* menjelaskan
bahwa tawakal adalah, “penyandaran diri kepada Allah Swt. sebagai satu-satunya al-wakiil (tempat bersandar) dalam
menghadapi setiap kepentingan, bersandar kepada-Nya pada setiap kesukaran, teguh
hati ketika ditimpa bencana, dengan jiwa yang tenang dan hati yang tentram.” Maka
dari itu, dalam menghadapi setiap siklus kehidupan, sebaiknya kita menyandarkan
diri kepada Allah Swt. Tawakal berkaitan erat dengan penerimaan. Baik itu penerimaan
atas diri maupun takdir yang telah digariskan.
Bab tiga membawa
warna baru bahwa pengorbanan tidak hanya tentang keluarga, tapi juga cinta dan
cita-cita. Kerap kali kita hanya singgah di hati orang lain karena waktu yang
salah. Kita juga mungkin pernah melewatkan waktu dengan orang yang dicintai dan
menyesal setelah mereka tiada. Bisa juga cinta tak bisa bersatu karena
terhalang restu orang tua. Berjuang untuk karir dan cita-cita tapi tak sesuai
harapan. Banyak hal yang membuat patah hati, lagi-lagi harus mengalah dan
membiarkan angin berembus membawa pada takdir paling baik. Maka, nasihat
tentang pencarian makna dan tujuan hidup menjadi benang merah pada bab ini.
Sementara itu, bab empat dan lima masih mengangkat kisah keluarga, tetapi dari
sudut pandang orang tua.
Sebagai penutup, bab enam hadir dengan cerita-cerita yang lebih legowo. Membaca bab ini seperti self healing. Kita tidak selalu harus baik-baik saja, tapi harus selalu berterima kasih pada diri yang sudah melewati segala hal dalam hidup. Secara keseluruhan, buku ini bisa dinikmati dengan nyaman sebagai buku pengembangan diri. Tidak merasa digurui, tetapi merekam kebahagiaan dan kesedihan seadanya.
*Dikutip dari buku berjudul Tawakal Bukan Pasrah (Suprayitno, 2010)
Komentar
Posting Komentar