[Cerita Promil] Memulai Lagi

 Debar jantungku bergemuruh sejak puluhan kilometer jalan yang masih harus kutempuh. Setahun terakhir, aku berpikir banyak, bahkan segala yang aku pikirkan tak lagi tertampung dalam benak, tak lagi tumpah lewat air mata. Seperti perjalanan tanpa peta, aku hanya bisa meraba, menerka, kemanakah aku harus berjalan?

Suatu hari entah kapan, tiba-tiba melintas potongan kalimat Najwa Shihab, “Kalau kita tidak mempertaruhkan apapun, maka kita tak akan mendapatkan apapun.” Lantas aku meresapi kalimat tersebut, memikirkan ribuan nikmat dari Allah yang tak bisa kuhitung. Aku merasa tak mempertaruhkan apapun, tapi masyaallah, Dia memberiku banyak. Rasanya lebih dari cukup. Namun, jauh dalam batinku, ada hal ganjil yang ingin kugenapkan. Hal yang selalu kutunggu sejak lima tahun lalu. Mungkin ini sudah saatnya aku menaruh sesuatu yang lebih besar untuk cita-citaku. Menata sabar supaya lebih tegar, memintal doa meskipun aku tak tahu ujungnya di mana, memperbanyak sujud, merendah di hadapan-Nya.

 Disela-sela percakapan ringan dengan suami beberapa bulan lalu, aku mulai menyisipkan keinginan untuk melakukan program hamil lagi. Keuangan kami belum memadai waktu itu. Suami memintaku menunggu, begitu pun aku mulai kembali menyisihkan—lebih tepatnya— menyiapkan uang untuk menjemput buah hati kami. Mungkin jalan yang kami tempuh tak semulus pasangan lain, tapi aku meyakinkan diri, kalau Allah Swt. berkehendak, Dia akan membantu segalanya. Aku yakin tak akan dibiarkan mengarungi lautan tanpa perahu. Pertolongan itu pasti datang.

Seperti yang sudah kuduga, di penghujung tahun 2021 Allah Swt. membekaliku rezeki untuk memulai perjalanan ini lagi. Terlalu lama aku beristirahat dan jalan di tempat. Kali ini, aku perlu sedikit berlari. Dua minggu terakhir kuikat lebih kencang doa-doa dan harapan di sepertiga malam. Tekadku sudah bulat. Bismillah, hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nasir. 

Parkiran motor begitu sesak, bejubel saling sisip berusaha masuk meskipun jarak antarmotor sudah begitu sempit. Parkiran tiga lantai yang kuingat ada ternyata sudah lenyap. Menyisakan satu lantai yang sudah penuh dengan motor. Wah, gila, udah penuh aja nih. Kalo makin maju pasti penuh, nanti susah keluarnya, pikirku. Sama seperti mereka, kami melesakkan motor di tempat yang kosong. Sangat tidak nyaman, karena yang tersisa adalah lahan parkir di bagian tanjakan miring.

Aku menaruh helm, melepas jaket tebal dan bergegas menuju Klinik Aster. Kesadaranku seperti tersentak ketika pintu lift terbuka. Kami naik dan menekan tombol nomor empat. Hari ini terasa seperti dua tahun lalu. Ternyata lift itu masih sama, mengantarkan energi yang sama. Cemas, gelisah, takut, semangat, membuncah dalam dada. Membuat letupan-letupan kecil yang membuat irama jantung berantakan, perut mulai mulas menahan gugup. Ketika tiba di lantai empat, memori dalam ingatanku memutar kenangan yang sama. Orang-orang duduk di bangku panjang, menunggu kerabat sedang operasi di ruang sebelah kiri. Bantal bertumpuk saling tindih dengan tas dan keresek hitam. Orang-orang mengantuk. Orang-orang hampa. Orang-orang yang terlihat cemas, aku seperti berkaca pada mereka. 

Langkah kaki kami semakin lebar, melewati lorong besar yang sunyi. Aku melongok ke kanan. Dari atas sini,  kulihat area parkir ternyata masih kosong. Gedung parkir tingkat semi permanen itu memang sudah tak ada, tapi ternyata area parkirnya masih luas-luas saja. Parkiran motor yang kukira penuh, ternyata kosong. Andai aku maju sedikit. Alam seperti mengantarkan pesan, entah aku menerjemahkan apa yang kulihat terlalu dalam. Aku merasa, apa yang kulihat dan kupikirkan belum tentu benar. 

Pintu Klinik Aster semakin mendekat di depan mata. Tanganku meraih gagang pintu kaca dan mendorongnya. Tidak begitu banyak pasien, mungkin karena hari semakin beranjak siang. Setelah menunggu antrian kurang lebih satu jam, namaku dipanggil. Aku semakin gugup, bahkan mendadak ingin buang air kecil lagi sebelum masuk ruang konsultasi. Di dalam toilet, aku menarik napas panjang, dan tersenyum pada pantulan diriku di cermin toilet, you can do it!

Semua yang ada di benakku seperti tercecer di lantai ketika bertemu dengan dr. Mulya. Blank. Apa yang harus kutanyakan, bagaimana aku memulai ini? Aku mendadak gagap, sedangkan suamiku senyum-senyum saja. Akhirnya dokter mengajakku untuk memulai USG transvaginal. Lagi-lagi otakku kosong. Aku berbaring dan menatap langit-langit dengan lampu neon yang tidak begitu terang. Dokter mulai melihat layar, apa yang ia katakan terpental di telingaku. Yang aku tahu, kondisiku tidak begitu bagus. Seperti biasa, dokter meresepkan obat insulin untuk memperbaiki hormonku. Lalu, suamiku menarik diriku pada rencana yang sudah kami susun sebelumnya. Laparoscopy ovarian drilling. 

Aku keluar ruangan membawa sedikit keresahan, selebihnya aku tenang. Perawat di meja resepsionis memberiku dua rujukan opsi melakukan LOD, yaitu RSHS dan RS Graha Bunda.  Hari itu juga aku langsung ingin mengurus penjadwalan operasi supaya lebih tenang. Kami keluar dari Klinik Aster menuju Gedung Anggrek lantai empat. 

Eskalator berjalan pelan, meskipun hiruk pikuk orang di setiap lantai dan suara intercome panggilan pasien bersahutan, suasana terasa sepi. Mungkin secara fisik orang-orang ini ada, tapi hati dan pikirannya berkeliaran entah ke mana. Dengan serba ketidaktahuan, kami tiba di loket pendaftaran lantai empat. Rupanya, untuk meminta penjadwalan operasi, kita juga harus membuat jadwal dahulu. Memang birokrasi rumah sakit pemerintah cukup rumit. Simpulannya, kami belum bisa membuat jadwal hari ini, dan diminta datang lagi minggu depan. Setelah dilempar kesana-kemari, kami turun lagi ke bawah dan kembali ke loket administrasi di dekat IGD untuk menanyakan perihal biaya. Lagi-lagi kami dilempar-lempar, tapi tidak mendapatkan jawaban memuaskan. Untuk biaya laparoskopinya saja sekitar 6 juta, biaya rawat inap beragam mulai dari 300.000-2.500.000 per/malam. Aku agak meragukan karena belum termasuk obat dan kebutuhan lain. Kata perawat di Aster, biaya LOD itu sekitar 20juta-an.

Hari ini masih menyisakan cukup waktu untuk langsung mengecek ke Graha Bunda. Kami tiba di sana setelah perut terisi. Ini adalah pengalaman pertama kaliku mengunjungi rumah sakit itu. Disambut dengan hangat dan pelayanan yang ramah, hatiku memilih untuk LOD di sini saja. Untuk tambahan informasi, biaya yang dibutuhkan mulai dari 20 juta-an, tergantung dengan kelasnya. 

Karena terkesan mendadak, perawat memastikan dahulu riwayatku pada dr. Mulya via telepon. Akhirnya, aku diminta untuk datang dan konsultasi lagi lusa, hari Jumat. Kami pun sepakat. 

Tanpa disadari, hujan turun tepat saat kami hendak pulang. Aku bergegas memakai jas hujan begitu pun suamiku, kami menembus air yang deras, allahumma shoyyiban nafiaan. Desember datang seperti tahun-tahun sebelumnya. Semoga hujan yang membawa keberkahan ini mengantarkan kami pada teduh yang membuat hati gembira. Mudahkanlah urusan kami seperti Engkau memudahkan urusan-urusan kami sebelumnya, Ya Rabb. Aamiin.


Komentar