Writing Challenge Day 1

Ini adalah tantangan pertama dari writing challenge Kampus Fiksi. Saya rasa, ini menjadi salah satu penawar dari segala rasa malas yang luar biasa untuk menulis. Plus menjadi tulisan pertama di tahun 2017 di blog saya yang sudah sedemikian usang. Bahkan, saya nyaris lupa password saking terlalu lamanya meninggalkan blog dan dunia kepenulisan. Pada akhirnya, saya merindukan saat-saat seperti ini. Saat paling nikmat menumpahkan ribuan kata-kata ke dalam kertas kosong. Merasa paling puas saat saya berhasil menulis berlembar-lembar. Tak peduli tulisan saya jelek atau bagus, yang penting hati saya lega setelah segala yang ada di pikiran tumpah.

Beda lho rasanya dengan menulis makalah puluhan lembar yang selesai dalam satu malam. Kesaktian mahasiswa bukan terletak pada membangun danau beserta perahunya dalam semalam, tetapi menyelesaikan segala tugas akhir hanya dalam waktu semalam. Kesaktian macam ini tidak perlu ditiru kalau kalian ingin mendapatkan pemahaman dan nilai yang sempurna.

Kembali ke tantangan menulis, berbicara tentang kekasih..... hm. Bisa dibilang saya tidak punya pengalaman  banyak untuk mengenal dan mendapatkan tipe kekasih yang ideal. Tapi, saya juga banyak menemukan tipe-tipe pacar yang unik, galak, egois, baik hati, romantis, sampai menyebalkan luar biasa. Sampai-sampai saya berpikir untuk tidak hidup bersama orang seperti dia. Sebagai manusia yang dibekali keinginan, saya juga punya gambaran tipe ideal untuk dijadikan seorang pacar.
Secara fisik, saya berharap punya kekasih yang tampan dengan standar berbadan tinggi, mata tidak terlalu sipit, tidak juga begitu belotot. Lalu, standar tampan saya bergeser pada oppa-oppa ganteng pemain drama Korea. Berjas rapi, setelah necis dengan sepatu mengkilat, rambut tak kalah rapi dan berwarna hitam legam. Tak ketinggalan hidung mancung.

Pokoknya saya suka laki-laki “matang” hahaha. Yang jadi poin penting adalah RAPI. Lalu, waktu masih usia 17 tahun, saya juga punya sebutan “aa wajah air wudhu” bagi orang-orang yang sulit saya jelaskan ketampanannya wkwk. Cukup di situ, saya juga punya kriteria idela secara batiniah xD. Yang pasti sehat rohani, seagama dan tentunya rajin beribadah. Suka mengaji, rajin ke masjid. Rajin menabung jadi poin tambahan. Semuanya menjadi bekal untuk membangun rumah tangga, pikir saya waktu itu wkwk. Saya pernah memimpikan punya pacar yang senang menulis. Pernah saya bayangkan betapa menyenangkannya punya kekasih yang sama-sama mencintai dunia literasi. Tapi, setelah dijalani, saya enek juga dikirimi puisi-puisi. Saya juga pernah membayangkan punya kekasih yang suka mengirimi bunga, membuat kejutan-kejutan kecil yang menciptakan kebahagiaan yang besar, juga saling memberikan kejutan di hari ulang tahun. Selain itu, lelaki yang menjadi pacarku juga harus jujur, tidak posesif, tidak merorok, ramah, dan tidak hanya menyayangi saya, tetapi juga keluarga saya.

Dari sederet kriteria ideal itu, justru saya bertemu dengan orang-orang yang paketnya kurang. Ada romantis, tapi egois. Ada rajin ke masjid, tapi moody berlebihan. Ada solatnya on time, tapi merokok. Akhirnya, kriteria di atas bergeser lagi ke “yang nggak muluk-muluk”. Seagama dan rajin ibadah tetap menjadi poin penting. Kemudian, saya juga pengen punya pasangan yang ramah, baik, tidak merokok. Poin penting setelah seagama dan tidak merokok sebenarnya adalah mau menerima segala kelebihan dan kekurangan saya. Fisik tidak lagi jadi masalah, yang penting saya suka.

Akhirnya Allah Swt. mengirimkan laki-laki itu untuk saya. Laki-laki yang justru tidak suka bunga, sama sekali tak romantis, bahkan tidak suka dunia literasi. Laki-laki paling jujur yang mengatakan saya lebih cantik di foto. Setelah meniti kehidupan bersama-sama, kriteria-kriteria itu berguguran.  Dia tidak begitu tinggi supaya saya bisa menjangkau rambutnya untuk dirapikan. Dia tidak suka membaca,  tapi lebih suka mendengarkan cerita. Aku adalah orang yang suka menceritakan segala hal yang kuanggap dekat. Dia tidak romantis. Pernah suatu hari dia tiba-tiba menyodorkan sebuah miniatur truk dengan cincin di dalamnya. Saat itu, dia hanya mengatakan, “Buat Ismi” tanpa mengeluarkan kata-kata yang lebih panjang. Tapi, yang terdengar oleh telinga saya adalah perasaan yang tak sesingkat itu.

Dia juga tak suka mengirimi bunga, tetapi selalu menyiapkan secangkir teh ketika tahu saya sangat menyukai teh panas. Pada akhirnya, kalimat klise “Tuhan memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan yang kamu inginkan” terasa benar adanya. Nyatanya, saya lebih membutuhkan komitmen untuk hidup bersama-sama ketimbang sebuket bunga yang nantinya layu. Saya membutuhkan seseorang yang setia mendengarkan cerita saya dari pada orang yang pintar bicara di depan umum. Saya membutuhkan orang yang menerima segala kelebihan dan kekurangan saya, bukan orang yang hanya menerima kelebihan, tetapi merasa kerepotan dengan segala kekurangan saya.
Pada akhirnya, tipe ideal akan selamanya menjadi tipe ideal. Tidak ada orang yang benar-benar sesuai dengan apa yang kita inginkan. Entah seberapa banyak kriteria yang tidak terpenuhi, kalau kita mau menerimanya, kita akan merasa pasangan kita adalah pasangan paling ideal.


Bandung, 18 Januari 2017

Komentar