Kampus Fiksi Writing Challenge Day 4

Sejak saya mengenal rasa suka pada lawan jenis, selalu ada cerita menarik yang saya kira hanya ada di film-film. Pernah sewaktu SD saya naksir pada kakak kelas. Beda setahun. Kami dekat gara-gara berada di organisasi yang sama. Cerita yang kami lalui waktu itu terasa paling indah. Padahal, apadeh bocah SD kelas empat sudah berharap menikah dengan orang itu. Kemudian, cerita itu seolah menggantung tak berujung. Tidak jelas bagaimana akhirnya, yang pasti (semoga saya tidak geer sendiri) saya suka dia pun sebaliknya.

Masuk SMP, saya sering dijahili anak kelas sebelah. Saking kesalnya, saya bersumpah bahwa suatu hari nanti laki-laki itu akan membutuhkan saya. Betapa songongnya saya hingga ternyata Allah mengabulkannya. Kami menjadi teman satu kelas. Dasar anak jahil, dia selalu mengerjai saya. Mulai dari memakai kostum saya untuk tampil drama, mencoret-coret LKS saya, menggoda saya, tapi saya sama sekali tak pernah tergoda. Pernah suatu hari, saya, dia, dan seorang teman laki-laki lainnya  sedang mengobrol, dia berkata pada temannya, “Lihat, deh, si x. Kalau dibilang cantik pasti geer.” Kemudian mereka benar-benar menggoda si x. Dia memang cantik. Benar saja, ketika dibilang cantik, wajahnya langsung memerah. Wajar, dia putih. Lalu dia berkata lagi, “Coba kalau Ismi yang dibilang cantik,” dan dia mengatakan saya cantik. Bukannya kegeeran, saya malah membalasnya dengan, “Naon, sih, maneh.”

 Begitulah saya menghabiskan satu tahun terakhir di SMP. Sampai akhirnya, salah satu sahabat saya mengatakan kalau laki-laki itu menyukai salah satu di antara kita. Saya mengira dia akan menyukai teman saya yang sedang bercerita. Ternyata dia menyukai saya. Saya memang tidak pernah berpikir ke sana. Saat itu saya memang senang berteman dengan siapapun. Yang saya tahu, dia hanya sering mengerjai saya. Ternyata memang begitu cara bocah ingusan mengungkapkan rasa sukanya. Pernah juga saya bertemu dengan seorang laki-laki dengan cerita panjang yang melelahkan. Tarik ulur perasaan hingga akhirnya lebih baik saya yang mengalah.

 Masuk bangku perkuliahan, lagi-lagi saya dipertemukan dengan laki-laki satu organisasi. Cerita dimulai dengan hal yang sepele, hanya karena saya mengatakan suka dia. Padahal bukan dalam arti suka deg-degan dag-dig-dug ser seperti itu. Saya hanya mengagumi dia. Tapi tim penyampai kode sukses mengirimkan sinyal itu pada si kakak tingkat. Tiga tahun lalu, waktu usia dewasa tanggung, saya dan teman-teman kuliah begitu “concern”  pada teman-teman yang mulai suka-sukaan ke kakak tingkat. Akhirnya, kami membentuk tim itu dan melakukan  boom tweet ke akun si target. Maklum, semester 1 belum merasakan beban bikin makalah semua mata kuliah. Jadi waktu kami amat lengang untuk main-main seperti itu.

Lama kelamaan saya baper juga karena dia mendekati saya. Saya juga jadi baper gara-gara “cie-cie” yang keluar dari mulut teman-teman. Hal itu cukup kuat untuk membangun perasaan satu sama lain. Melalui segala drama mulai dari acara nembak pakai tuker-tukeran kertas sampai bertengkar dan minta diturunkan di tengah jalan, hubungan kami kandas. Saya kira, paragraf ketiga cukup menjadi prolog. Anggaplah mereka dan orang-orang yang tidak saya tulis di sini adalah cerita singkat sebelum Allah Swt. menuliskan kisah yang panjang.

Hampir dua tahun saya memutuskan untuk tidak terlibat dalam hubungan seperti itu. Yang saya pikirkan sebenarnya siklus PDKT-jadian-bertengkar-putus yang melelahkan. Kok rasanya pacaran adalah hubungan yang nggak jelas tujuannya. Ini menurut saya, lho. Kalau cuma buat happy-happy atau sekadar teman makan dan nonton, saya masih punya teman yang jauh lebih setia. Di telinga saya juga selalu terngiang perintah agama untuk menjauhi zina. Akhirnya, saya membatasi, bahkan mengisolasi diri dari laki-laki iseng yang hanya penasaran sama saya. Hey, saya tidak semenarik yang kamu bayangkan. Saya ini galak, jutek, dan tukang kentut. Beberapa kali saya memutuskan mundur di tengah jalan.

Penghujung September 2016, saya masih ingat suasana sore yang dirintiki hujan. Saya sedang asyik menyetrika dan hp saya berbunyi bip. Sebuah notifikasi dari facebook muncul. Sebelumnya, saya baru saja menerima pertemanan dari orang yang benar-benar asing. Tidak ada mutual friend. Saya menerima pertemanan hanya karena feeling dan keyakinan kalau dia adalah orang yang nyata. Bukan akun fake. Saya juga sempat stalking akunnya dulu. Dia mengirim pesan yang isinya kurang lebih memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud untuk berkenalan. Saya rasa itu cara paling elegan dari sekian banyak pesan-pesan facebook lain yang mengajak saya kenalan. Bukan lagi, “hey, salam kenal, leh kenalan gug?” dia mengatakan ingin bertaaruf karena siap menikah. MENIKAH hey, MENIKAH! Yang pertama kali muncul di kepala saya, artinya jika saya meladeni orang ini, saya tidak bisa main-main. Kebetulan, saya memang punya niat untuk menikah. Tapi ya tidak tahun 2016, rencananya setelah lulus 2017. Saya merencanakan itu ketika jodohnya pun saya tidak tahu siapa.

Setelah banyak pertimbangan, akhirnya saya membalas pesannya. Sebagai mahasiswa sastra yang belajar analisis strukturalisme Todorov, tentu saya tanyakan kenapa dia tahu saya? Kata Todorov, setiap peristiwa itu pasti memiliki hubungan kausalitas. Setiap sebab tentu ada akibatnya. Rupanya, dia mencari mahasiswa UPI di facebook. Katanya, kalau UPI pasti paham pendidikan, jadi paham mendidik anak. Padahal nilai landasan pendidikan saya nggak bagus, malah saya bosan belajar itu. Saya juga bukan mahasiswa pendidikan, saya mahasiswa nonkependidikan. Tapi, kalau buat mendidik anak kita kelak, aku bakal belajar terus kok, hihi xD

Singkat cerita, kami bertukar CV.  Dia juga memberikan kontak sepupunya yang juga lulusan UPI dan tinggal di Gerlong untuk meyakinkan saya. Meski pun belum mengenal, bahkan bertemu pun tidak, dari CVnya saya sudah bisa bayangkan sifatnya seperti apa. Kemudian saya galau karena takut tidak bisa menyesuaikan diri. Terlalu banyak persamaan (terutama sifat) yang entah bisa saya atasi atau tidak. Karena dia datang dari Allah, jadi saya juga banyak curhatnya kepada-Nya. Saya nggak banyak cerita, ke keluarga hanya berkata sebatas ada yang mau taaruf. Teman saya sama sekali tak ada yang tahu. Saat dia berkata mau bertaaruf, di pikiran saya, seminggu atau dua minggu lagi laki-laki itu akan datang ke rumah. Makanya saya langsung bilang ke orang tua. Takutnya kaget karena anak perempuannya yang nggak pernah bawa laki-laki ke rumah tiba-tiba ada yang mau mengajak nikah.

Ternyata, dia tidak bisa ke rumah dalam waktu dekat. Dia sedang bertugas di tempat yang jauh. Baru pulang Desember 2016. Itu pun cuti tahun baru. Saya kira di bekerja di luar negeri hanya untuk seminggu dua minggu. Akhirnya saya mengizinkan dia datang Desember. Lagi pula, saya tidak begitu berharap. Datang alhamdulillah, kalau pun tidak, ya sudah. Apa yang bisa diharapkan dari perkenalan online? Saya adalah orang yang suaranya paling kencang untuk meledek orang-orang yang kenalan online lalu pacaran atau bahkan menikah. Ternyata semuanya menjadi serbaterbalik.  Saya mengalami itu semua.
Beberapa kali dia meminta saya untuk mengizinkan kedua orangtuanya datang ke rumah. Tapi saya tolak, saya kan mau menikah dengan anaknya, bukan orang tuanya, pikir saya. Meski pun saat itu saya juga belum tahu apakah perkenalan itu akan terus berlanjut atau berhenti di tengah jalan. Akhirnya saya berinisiatif untuk berkomunikasi via video call. Itu pun gagal karena jaringan yang jelek. HP saya tidak bisa memuluskan pertemuan maya kami. Yang bikin saya kaget, tiba-tiba di memutuskan untuk pulang ke Indonesia karena dapat cuti dan tiket pesawat. Makin berdebarlah jantung saya. Bukan karena saya mau ketemu kecengan kayak waktu SMK, tapi saya berdebar karena takut saya mengambil keputusan yang salah. Saya takut mengecewakan. Terlalu banyak ketakutan di pikiran saya.

Sore-sore, di selasar Al-Furqon, bersama dua porsi d’chick, akhirnya saya curhat ke Nabila. Teman pertama yang akhirnya saya curhati. Tadinya, mau sosoan bikin kejutan. Saya bilang bingung dan tiba-tiba menangis. Sayangnya air mata saya tidak berubah jadi mutiara haha. Tapi menjadi keyakinan untuk memilih dia. Kiiwww xD Akhirnya juga saya jujur pada sahabat-sahabat saya yang lain. Saya berkata, “Gimana mau menikah? Nggak ada perasaan apa-apa.” Lalu salah satu teman saya bilang kalau kakaknya pun bukan menikah karena cinta. Dia menyarankan saya untuk memikirkan lagi niat awal untuk menikah. Selain sibuk memikirkan tugas-tugas dengan rasa malas level dewa, saya juga memikirkan apa keputusan yang harus saya ambil. Pernah terlintas niat jahat untuk menolak dia setelah dia datang ke rumah. Tapi saya berpikir lagi dan lagi. Akhirnya, dengan mengizinkan di ke rumah, artinya saya siap menerima segala kekurangan dan kelebihannya, siap menerima takdir andai kami tidak berjodoh, dan siap membuka lembaran baru lagi.

Pertemuan pertama itu terjadi. Sabtu pagi di minggu kedua bulan Oktober. Saya baru pulang dari pasar. Masih setelan training, kaos belang-belang, kerudung paris lepek karena kehujanan, saya nggak sempat pakai bedak apalagi lipstick. Saya langsung ganti baju dan duduk di samping bapak. Taaruf pun diterima. Tidak ada percakapan di antara kami selain saya bilang, “ke sini,” saat menunjukkan toilet. Lagi-lagi saya merasa ini ide gila. Bagaimana bisa saya menikah dengan orang yang entah datang dari mana. Tapi skenario Allah Swt. memang yang terbaik.  Dia pun pulang, membawa sebagian kegelisahan saya. Perjalanan tiga hari Tokyo-Bandung-Tokyo untuk pertemuan dua jam adalah perjalanan tergila yang pernah dia lalui (katanya).

Masalah khitbah dan akad adalah perbincangan yang akan diobrolkan belakangan, awalnya. Saya kan masih kuliah, semester 7 pula. Sedang siap-siap untuk berskripsi ria. Tiba-tiba dia berubah pikiran dan meminta pernikahan dimajukan jadi Desember 2016. Alamak! Tugas saya aja belum beres woy! Skenario baru 15 lembar. Proposal masih revisi. Tradisi lisan belum dapat objek. Leksikografi masih bingung mau buat kamus apa. Sosiolinguistik belum mulai penelitian. Saya menolak rencana itu dengan alasan ingin menikah setelah lulus. Maksud saya agar lebih tenang, walau pun setelah dipikir-pikir lagi itu alasan yang nonsense. Menikah tidak akan menjegalmu buat jadi sarjana kok. Tapi akhirnya Allah Swt. menuntun saya untuk memilih pernikahan yang dimajukan. Setelah saya pikir-pikir lagi, saya belum pasti lulus bulan Maret. Alasan dia meminta dimajukan juga untuk menjaga dari fitnah dan zina hati. Saya juga berpikir, “masa dulu diajak pacaran mau-mau saja, ini diajak hidup bersama-sama tidak mau?” Saya rasa pernikahan bukan perkara mudah. Perlu persiapan yang matang, terutama mental. Setelah menikah, saya bukan lagi perempuan single yang bisa ke mana saja seenaknya. Apalagi pernikahan bukan penyatuan saya dan dia, tapi membawa keluarga.

Khitbah dilaksanakan 13 November 2016 tanpa kehadiran dia. Tidak mungkin dia pulang lagi ke Indonesia. Setelah khitbah, segala persiapan pernikahan dilaksanakan dengan serbamendadak. Mencari gedung, mencari rias pengantin, cetak undangan, semuanya dilakukan dalam waktu sehari. Selebihnya, saya tidak ikut campur karena tugas-tugas saya juga sama-sama ribet. Semuanya saya serahkan pada kakak saya. Semakin hari, saya semakin bingung, “Ini beneran nggak, sih?”, “Ini asli jodoh saya?”, “Kalau tiba-tiba saya batalkan gimana ya?”, “Kalau ternyata saya nggak suka sama dia gimana?” Pertanyaan-pertanyaan itu muncul terus di kepala saya. Setiap saya mau tidur, setiap saya bangun tidur, setiap saya makan, setiap saya membuka laptop untuk mengerjakan tugas, hingga akhirnya saya diberikan kemantapan beberapa hari menjelang pernikahan.

Alhamdulillah, 31 Desember 2016 pernikahan berjalan dengan lancar. Saya menyebarkan berita yang membuat kaget semua orang. Kamu nikah sama siapa? Ih kok bisa? Lho, pernikahan ternyata mudah bagi orang-orang yang sudah memiliki niat untuk menikah. Pertanyaan itu tidak hanya datang dari teman, tapi juga dari tetangga. Saya yang nggak pernah terlihat dibonceng laki-laki tiba-tiba menikah. Padahal dulu saya sering diantar pacar pulang. Tapi lebih sering pulang sendiriannya sih haha. Kemudian, satu pertanyaan terngiang-ngiang di kepala saya di waktu 3 hari sebelum pernikahan, “Kamu kok bisa taaruf gitu? Aku ngeri lho, kenal-kenal kayak gitu. Ibaratnya kan, orang asing tiba-tiba menikah. Sementara itu, pernikahan itu jangka panjang.”

Lalu, saya menjawab dengan mantap. “Iya, pasti mikirnya gitu, ya? Sama kok, aku juga awalnya mikir kayak gitu, kamu yakin mau nikah sama orang itu? Kenalnya di fesbuk, masih kuliah lagi.  Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, aku nggak punya kekuasaan untuk merencanakan ini. Hari ini juga ada karena Allah Swt. yang berkehendak. Makanya, ya aku pasrahin semuanya sama Allah Swt. aja. Lagian jodoh itu cerminan diri.  Apa yang didapat yang itu yang cocok, yang terbaik. Aku juga sama, ada kekurangan, makanya aku maklumi kekurangan dia. Kelebihannya, aku juga terima. Masalah karakter, toh dengan aku pacaran bertahun-tahun mau sampai sepuluh tahun pun nggak menjamin dia akan berubah sesuai dengan yang aku inginkan. Intinya komitmen buat saling aja. Saling memahami, saling menghormati, saling menyayangi, saling menghargai, saling mengingatkan, buat sama-sama menjadi orang yang lebih baik. Insya allah nikahnya juga sebagai ibadah.”

Komentar

  1. Bikin Baper kak bacanya, semoga rumah tangganya samara ya..
    ><
    Terimakasih sudah berbagi,
    Saya juga anggota challenge ini kok..
    ><

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah makasih udah baca yaaa. Aaamiin, makasih doanya 😊

      Hapus
  2. Tukeran CV, keren, keren. Ismi sama si Abang semoga langgeng sampai selamanya :)

    BalasHapus

Posting Komentar