Kampus Fiksi Writing Challenge Day 2

his. te. ris a bersifat histeria
his. te. ria Psi gangguan pada gerak-gerik jiwa dan rasa dengan gejala luapa emosi yang sering tidak terkendali seperti tiba-tiba berteriak-teriak, menangis, tertawa, mati rasa, lumpuh, dan berjalan dalam keadaan tidur.


Lantas apa, sih, yang akan membuat saya histeris? Barangkali banyak, tetapi dalam tantangan hari kedua ini, saya hanya diberi kesempatan untuk memilih tiga hal saja. Sebelum menjawab, saya mengecek dulu KBBI untuk memastikan definisi histeris. Terlalu banyak konsep di kepala saya untuk menjelaskan histeris. Atau bisa jadi terlalu banyak kejadian yang membuat saya tidak bisa mengendalikan emosi. Melihat definisi di atas, membuat saya menggali lagi ingatan tentang peristiwa-peristiwa yang membuat saya menangis, tertawa, bahkan mearasa lumpuh dalam seketika. Barangkali tiga kata kunci itu yang menjadi panduan untuk menjawab tantangan ini. Halah udah kayak bikin abstrak aja pake kata kunci wkwkw. Skripsi aja baru proposal xD

Pertama, kehilangan orang tua. Bisa saya bayangkan bagaimana jika tiba-tiba orang tua saya tiada. Saya memang bukan tipe anak yang terbuka pada orang tua. Saya hanya bicara hal-hal biasa. Membicarakan kejadian unik di sekolah dan di kampus, mengomentari siaran televisi, atau sekadar bercanda ringan. Selebihnya, saya tidak begitu terbuka tentang pikiran dan perasaan. Lagi pula, orang tua saya tidak pernah mengobral kata-kata kasih sayang. Tapi dengan sarapan yang dihidangkan setiap pagi, tawaran makan yang datang sehari lebih dari tiga kali, dan pertanyaan “kehujanan atau tidak?” setiap saya pulang kuliah. Itu hanya contoh kecil. Ada lebih banyak kasih sayang yang mungkin juga tak sadar saya rasakan. Hal-hal itu adalah ungkapan kasih sayang terdalam yang saya rasakan. Jika orang tua saya tiada, saya tidak akan mendengar lagi kicauan-kicauan untuk menyuruh saya makan dan memakai jaket ketika bepergian. Barang-barang yang terselip pun tidak akan pernah saya temukan. Mama adalah orang ajaib yang selalu menemukan barang-barang saya yang hilang. Yang lebih ajaib, ucapan Mama adalah masa depan saya. Setiap katanya adalah doa. Jadi, mintalah hal-hal yang baik untuk diucapkan mamamu walau kamu tahu mamamu selalu mendoakan segala yang terbaik untuk kamu xD Intinya, bagi saya orang tua adalah segalanya. Semua yang membaca tulisan ini saya kira pasti setuju.


Kedua, menjadi saksi tindak kriminal kekerasan, saksi dan korban bencana, atau ada di medan perang. Pernah suatu hari saya terbangun tengah malam. Saya mengira suara teriakan dan hentakan kaki yang berlari datang dari kepala saya. Saya mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan pendengaran. Tapi, saya makin yakin kalau suara itu berasal dari luar kepala, bukan dari dalam kepala yang sedang bermimpi. Jantung saya berdebar tak karuan. Di pikiran saya, terlintas seorang anggota geng motor yang dikeroyok musuhnya. Terlintas pula seorang maling yang sedang digebuki warga. Saya membayangkan suasana yang sedemikian kacau. Lama-lama saya kepo juga. Terutama karena jendela saya dimasuki cahaya yang saya pikir dari langit. Saya berdiri, mengintip dari dalam jendela kamar. Api berkobar melahap atap rumah tetangga. Tubuh saya gemetar bukan main. Lutut saya lemas. Jarak rumah saya dengan tetangga yang rumahnya terbakar memang agak jauh. Terpisah sekitar 5-7 rumah. Tapi api yang membumbung di udara membuat jarak terasa semakin dekat. Jantung saya rasanya mau jatuh ke tanah. Saya buru-buru turun (kamar saya ada di lantai dua). Saya membangunkan semua orang rumah. Lalu kami keluar, melihat kondisi rumah tetangga yang tinggal menyisakan rangka.

Pernah juga di lain waktu gardu listrik yang berada tak jauh dari rumah meledak. Bukan lagi sekadar hati yang meledak melihat mantan jalan dengan pacar barunya atau gas elpiji 3 kilo yang meledak, ini gardu listrik! Sumber listrik yang menerangi kurang lebih wilayah tiga RT meledak! Kalau ingat kejadian itu, saya masih ingat keringat dingin yang mengucur gara-gara jantung saya degdegan. Saya juga masih ingat rencana untuk berlari menyelamatkan ijazah dan dokumen penting lalu memakai baju berlapis-lapis andai api yang meletup-letup di kabelnya merembet ke setiap rumah. Suasana maghrib waktu itu sedang hening-heningnya. Saya dan keluarga sedang menyantap hidangan berbuka puasa. Di tengah suapan nasi hangat yang nikmat, suara ledakan disusul lampu yang padam mengagetkan kami. Otomatis kami berlari keluar untuk mencari penyebabnya. Gardu listrik yang hanya berada beberapa meter dari rumah ternyata meledak. Beberapa kali gardu itu membuat letupan-letupan api yang setara dengan ledakan-ledakan di pikiran saya. Kejadian itu berulang tiga kali selama saya hidup 17 tahun di sana (btw, kejadiannya waktu saya SMK). Sejak saat itu, saya bisa membayangkan andai hidup di tengah meriam yang meledak bersahutan. Atau melihat nyawa melayang semudah daun yang jatuh ke tanah (bukan daun yang jatuh tak pernah membenci angin ya xD). Entah bagaimana jadinya jika saya melihat darah tumpah dimana-mana serupa genangan air di jalan berlubang. Saya amat bersyukur tinggal di Indonesia tercinta yang aman xD. Meski pun akhir-akhir ini ada isu...... ah sudahlah. You know what i mean xD

Ketiga, naik wahana ekstrim pemicu adrenalin. Ini yang membuat saya tertawa, menangis, leuleus tuur, dan segala keripuhan lainnya. Bagi saya, orang yang berani terjun dari ketinggian, menyeberangi tebing dengan seutas tali, atau naik roller coaster tercuram di dunia adalah orang-orang kurang kerjaan yang merasa punya nyawa banyak. Saya kapok naik wahana-wahana gitu. Sudah bayar, tersiksa pula. Ini adalah pemikiran anak takut ketinggian yang juga nggak mau rugi wkwk. Waktu itu, otak saya yang penuh dengan seabreg permasalahan perlu direfresh. Maklum, urusan hati yang bertabrakan dengan urusan akademik bagai tabrakan elektron yang menyebabkan petir. Di siang bolong pula. Saya dan teman saya adalah dua orang paling songong yang mengatakan wahana x adalah wahana yang nggak ada apa-apanya. Akhirnya kami memilih wahana y. Karena “terlihat” lebih menantang dari wahana x. Naiklah kami pada wahana y. Meski pun saya sudah berniat dari rumah mau menghilangkan stres, tetap saja ada perasaan waswas ketika sabuk pengaman sudah mengikat tubuh saya. Tangan saya yang dingin karena AC bertambah dingin karena takut juga setelah naik.

Sebelumnya, saya lihat orang-orang yang teriak naik wahana y seperti orang-orang cemen yang “gitu doang takut”. Makanya, jadi orang nggak usah ngomentarin orang lain wkwk.

Yes! Tubuh saya diayunkan. Bukan ayun ambing yang membuat tidurmu nyenyak, tapi ayunan yang membuat matamu merem dan tidak sanggup melihat kaki yang mengayun di depan mata. Saya juga tidak sanggup melihat tubuh saya hampir menyentuh langit-langit taman hiburan itu. Pun dengan orang-orang di bawah yang melihat kami berteriak-teriak. Saya melihat ekspresi yang saya tunjukan ketika melihat orang lain naik wahana y: “itu orang kenapa, sih, lebay banget.”

Saya merapalkan segala doa. Mengucapkan istigfar, takbir, dan tasbih. Buku-buku jari saya memutih karena memegang sabuk dengan erat. Darah saya berdesir dari kepala ke kaki dan sebaliknya. Saya teriak sekencang-kencangnya. Saya kira saya akan mati saat itu juga. Kegundahan saya menguap di udara. Apa yang saya keluarkan sebanding dengan apa yang saya dapatkan. Turun dari wahana y, tubuh saya gemetaran. Wajah pucat. Perut mual nyaris muntah. Kepala nyutnyutan. Lutut seperti copot. Alhamdulillah saya selamat. Saya mengerti betapa nyawa amat berharga. Itu alasan kenapa saya kapok naik wahana ekstrim. Saya memutuskan untuk tidak naik wahana aneh-aneh lagi. Melepaskan kegundahan tak perlu seekstrim itu. Cukup sujud di lima waktu solat, kalau bisa ditambah sunah dan membaca al-qur’an. Tambahannya lagi bangun di sepertiga malam dan menceritakan pada penulis skenario paling hebat, pada yang Maha Mengetahui segala hati dan pikiranmu. 

Komentar