KETIKA SEEKOR BABI BERDOA*
Oleh Ismi Aliyah

Menjadi seekor babi sudah tentu bukan keinginanku. Apalagi menyaksikan kawan-kawanku dikepung dari berbagai arah.  Dipukuli hingga babak belur, bahkan ada yang dibakar hidup-hidup hingga bentuk wajahnya semakin tak berupa. Sebagai seekor babi hutan, aku hidup berdampingan. Dengan ular-ular, rusa-rusa, ikan-ikan, buaya, bahkan burung-burung bersayap indah yang dapat terbang hingga ke puncak pohon pinus tertinggi di hutan. Tapi sungguh, diantara hewan-hewan keren yang baru saja kusebutkan, aku sama sekali tak iri dengan mereka. Satu hal yang membuatku iri adalah seorang manusia.


Jika aku boleh memilih, aku meminta Tuhan untuk menjadikan aku seorang manusia saja. Seorang lelaki tampan dengan rahang yang tegas, dada yang bidang, kumis tipis, tubuh tegap, dan cekatan. Dengan begitu, aku bisa kawin sesuka hatiku tanpa penolakan. Waktu itu, bukan kali pertama aku bertemu dengan manusia. Sebelumnya, manusia-manusia itu sering keluar masuk hutan. Memburu rusa, atau sekedar mengambil ranting kering yang berjatuhan dari pohon yang meranggas. Bahkan, sesekali manusia-manusia itu memburu babi hutan sepertiku.


Lelaki itu muncul dari semak belukar. Aku sempat terlonjak kaget ketika dia membawa senapan di balik punggungnya. Aku pernah melihat kawanku ditembak mati, lalu tubuhnya dibawa keluar hutan. Semenjak itu, aku sangat membenci manusia. Namun di hari kemudian, cerita kehidupan luar hutan sungguh menggiurkan. Seekor alap-alap menceritakan pengalamannya tersesat di luar hutan. Setiap pagi, siang, dan malam, ia hanya perlu bertengger lalu manusia-manusia itu dengan senang hati mengirimkannya daging ayam yang sudah dipotong kotak-kotak. Dia tak perlu repot mencari makan. Pun dengan yang diceritakan ular kobra yang dikirimi ayam hidup tanpa harus memangsa.


Semenjak mendengar cerita-cerita di luar hutan, aku semakin tertarik untuk tinggal di sana. Kita tak pernah tahu jika kita tak pernah mencoba, bukan? Namun setiap kali kuceritakan keinginanku pada Mama, ia selalu mematahkan cita-citaku dan menyuruhku untuk lebih rajin memangsa saja.

Setelah lelaki itu muncul dari balik semak belukar, aku berlari sekuat tenaga, menabrak ranting-ranting, melindas sulur-sulur, menerobos semak belukar, dan berakhir dengan terjungkal akibat menabrak sebatang pohon yang melintang. Saat itu, aku sudah membayangkan peluru bersarang di jantungku lalu tubuhku dibawa keluar hutan.

Namun lelaki itu mendekat perlahan. Napasnya memburu, berbalapan dengan napasku yang tak kalah terengah-engah. Di wajahnya, rasa takut dan waswas begitu kentara.

“Tenang saja... Aku hanya ingin memastikan, jika di sini hidup babi hutan,” dia menyeringai.
Tangannya terulur, mengusap tubuhku yang masih ambruk. Tentu saja aku tak dapat melawan. Aku menguik dengan kencang hanya untuk membuatnya takut. Tubuhku tak kuat untuk berlari, kakiku mati rasa setelah menabrak batang pohon dengan keras. Darah mengalir di kakiku, rupanya kulit pohon kering yang tajam merobek kulitku yang tebal.
Manusia itu, tak seperti manusia-manusia lain yang sering keluar masuk hutan. Wajahnya lebih bersih. Pakaiannya lebih rapi, jika manusia-manusia sebelumnya masuk ke hutan menggunakan alas kaki yang tipis, lelaki itu memakai sepatu tebal yang kutaksir dapat meremukkan ranting tebal dalam sekali injak.

Aku mencoba bangkit. Kugusur kakiku untuk menjauh dari manusia itu. Tanpa diduga, ia justru melepaskanku, bahkan sempat melambaikan tangan sebelum kami sama-sama meninggalkan tempat itu. Aku pergi ke tepi sungai, sementara lelaki itu kembali menembus semak belukar lalu ditelan rimbunnya dedaunan.

Di tepi sungai, aku melihat pantulan diriku. Ah, hidungku tak sebangir manusia itu. Wajahku tak semulus manusia itu. Aku pun benci dengan dua daun telinga yang menyeimbangkan kepalaku. Seekor buaya muncul ke permukaan saat itu sibuk membasuh kakiku yang tergores kulit batang sialan itu. “Kau lolos dari pemburu? Syukulah,” katanya tenang lalu kelopak matanya perlahan menutup.
“Aku bertemu manusia aneh hari ini. Dia sama sekali tak menyakitiku.”
Buaya itu menahan tawanya. Menatapku dengan tatapan ‘betapa naifnya makhluk jelek di hadapanku ini’. “Tidak ada manusia yang tidak serakah. Kau harus berhati-hati.”

Aku hanya mencibir dalam hati. Kurasa buaya itu hanya iri. Kudengar ia pernah beberapa kali hanyut terbawa arus dan keluar dari hutan tapi ia berhasil kembali ke hutan. Lalu, aku bersumpah, ia pasti berdoa agar Tuhan menurunkan hujan paling lebat agar tubuhnya kembali hanyut keluar hutan.
Ternyata pertemuanku dengan lelaki itu bukanlah yang pertama dan terakhir. Dia kembali lagi seminggu kemudian. Saat langit gelap dan hewan-hewan malam sibuk mencari mangsa. Saat itu, aku sedang tertidur di bawah pohon beringin tertua di hutan. Mama sedang pergi berburu bersama kawan-kawan babi lainnya. Gemerisik dedaunan kering mengusik tidurku yang nyenyak. Aku membuka mata saat segerombolan manusia mendekat sambil tertawa kencang.

Ada lima laki-laki dan satu perempuan. Lalu aku menjauhkan diri dan mengintip di balik batang pohon. Aku mengenal salah satu wajah di antara lima lelaki itu. Kini ia tak seramah saat pertama kali kami bertemu. Alisnya menukik tajam, senyumnya tak lagi menawan melainkan mengerikan, tawanya terdengar amat sumbang. Pun dengan keempat rekannya. Dua di antara mereka sibuk memegang tangan kanan dan kiri perempuan. Lalu, aku melihat perempuan itu ketakutan. Kelima lelaki itu menyerang perempuan itu secara bergiliran seperti yang dilakukan babi hutan.

Tangis perempuan itu memecah kesunyian malam. Malang, tak ada satu pun manusia yang mendengar jeritannya meski ia telah berteriak sekuat tenaga. Hingga pagi menjelang, tangisan wanita itu reda. Sekujur tubuhnya membiru, pakaiannya tak lagi utuh. Beberapa sudut pakainnya terkena noda darah bercampur tanah. Sebelum matahari muncul dan perempuan itu tersadar, kelima lelaki itu menggali tanah sedalam dada mereka. Perempuan itu dikubur dalam keadaan yang barangkali masih hidup.

Semalaman aku mengintip dari balik pohon. Menyaksikan manusia yang berubah menjadi “binatang”. Lalu saat matahari terbit dan menyusup lewat celah-celah pohon yang rimbun, kelima lelaki itu terbangun. Mereka saling memukul lalu tertawa seperti orang gila. Kelimanya meninggalkan tempat itu. Meninggalkan perempuan di dalam tanah dan cerita mengerikan yang pernah kusaksikan.

Sore hari, kudengar kerusuhan. Warga berbondong-bondong masuk ke hutan. Membawa sebilah kayu, obor, batu, dan apa saja yang mereka temukan di jalanan. Kami, babi hutan sedang asyik menyantap mangsa. Mendengar kerusuhan itu, kami segera membubarkan diri. Lagi-lagi aku melihat lelaki itu di kerumunan warga. Dia berteriak, “Babi hutan itulah yang telah membunuh pacarku!”
Seperti disulut api, mata para warga membara. Kawan-kawanku yang tak sempat kabur menjadi bulan-bulanan warga. Para warga sibuk melempar umpatan, melayangkan pukulan, dan menumpahkan kemarahan pada kawan-kawanku. Demi Tuhan, aku tak akan pernah lagi berdoa agar menjadi seorang manusia!




*Diikutsertakan dalam #NulisBarengAlumni #TantanganBabi

Komentar

  1. mbk.. hahaha waktu itu pernah kunjung ke sini
    http://bloglazir.blogspot.co.id/2013/01/cara-memasukan-kode-html-pada-widget.html
    dan mbk bertanya >> kalo cara ngemunculin join this site gimana? hehe
    salam kenal

    BalasHapus

Posting Komentar