#1

Terhitung hari ini, saya ingin menantang diri sendiri untuk menulis setiap hari. Semoga istiqomah. Awalnya saya berpikir bahwa menulis hanya akan membebani saya karena saya sedang lelah dan lain sebagainya. Jadi saya menulis ketika ide ada di benak saya. Kadang tulisan itu tuntas, tapi tak sedikit cerita-cerita yang saya gantungkan. Padahal sebenarnya menulis melepaskan keresahan.

Misalnya hari ini. Saya beraktivitas seperti biasa, tapi kebetulan pulang lebih awal. Seperti biasa, saya berjalan melewati gerbang kampus yang bersatu dengan gerbang sekolah SD, kemudian menyeberang di pertigaan, melewati pedagang ayam krispi, melewati pasar, berpapasan dengan orang-orang yang nongkrong di depan bank BRI, kemudian berpisah di pertigaan dengan  teman yang rumahnya searah.

Lalu saya melihat angkot sedang menepi di pertigaan. Sadar atau tidak, saya selalu berhadapan dengan pertigaan. Entah pertanda apa. Barangkali menjadi orang ketiga? Atau menjadi pilihan ketiga? Atau keberuntunganku ada di angka tiga? Tulisan ini semakin lama semakin ngawur.

Akhirnya saya naik angkot. Kemudian kata-kata membelah diri di pikiran saya, menjelma beban yang rasanya tidak tuntas jika tidak saya tuangkan. Ibarat peralatan rumah tangga, menulis dan membaca adalah satu paket tea set. Di dalamnya terdapat teko dan cangkir.  Ketika menulis, saya menjadi teko yang menuangkan air ke dalam cangkir. Sedangkan ketika membaca, saya menjadi cangkir yang menerima tuangan air dari teko.

Prolognya terlalu panjang. Jadi apa yang ingin dibahas?

Begini. Ketika saya di dalam angkot, tidak hanya kata-kata yang membelah diri di pikiran saya. Tapi juga kenangan. Awas lho, kenangan bukan hanya dengan pacar. Kenangan dengan pacar hanya sebagian kecil dari bagian besar kenangan yang dimiliki setiap manusia di muka bumi ini. HAHA!
Saya teringat kehidupan saya tiga tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, kegiatannya sama saja; saya berangkat pagi-pagi, pulang sore, berjalan kaki menikmati sore yang indah, dan pulang ke rumah (saya sering pulang malam ketika kuliah, sebenarnya). Tapi sejak dua tahun terakhir selalu ada yang mengganjal di hati dan pikiran saya setiap pulang ke rumah. Setiap saya melamun di angkot, yang saya merefleksi diri sendiri. Kadang saya merasa apa yang sudah terjadi hari ini menjadi kesalahan tak termaafkan, dan seandainya bisa diulang, saya ingin mengubah hari ini juga dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Barangkali ini yang dimaksud masa transisi. Perubahan dari remaja menuju dewasa. Selama perjalanan pulang, saya membawa diri saya kembali ke tiga tahun lalu. Setiap pagi, saya berangkat pukul 06.00 WIB. Padahal rumah saya lumayan dekat dengan sekolah. Bahkan terkadang berangkat pukul 05.30 WIB. Terkadang saya menjadi orang pertama yang datang ke sekolah ketika kabut masih tebal, parkiran masih lengang, lampu koridor masih menyala—bekas semalam—, dan pintu kelas masih terkunci. Lalu saya duduk di tangga dan menunggu teman-teman datang.

Ketika mereka datang, biasanya kita mencari kelas, lalu duduk bergerombol, menyocokkan pekerjaan rumah sambil mengobrolkan apapun, sampai hal-hal tidak penting yang bisa saja orang lain tak perlu tahu—dan mungkin tak ingin mendengar. Bercerita tentang nightmare radio ardan, bercerita tentang mimpi semalam yang lupa-lupa ingat, kejadian-kejadian kecil di angkot, lagu terbaru, dan lain sebagainya. Percayalah, itu adalah hal mengasyikan pertama yang menghilang di hidupmu ketika kamu menginjak bangku kuliah.

Setelah itu, bel masuk berdering. Bisanya kami membaca asmaul-husna dan mengaji al-qur’an bersama-sama. Baiklah, ini adalah rutinitas kedua yang menghilang dan begitu saya rindukan. Lalu bu guru masuk. Memberikan materi sebentar, memberi tugas, lalu beliau izin ke bank yang dikelola sekolah. Kami sadar itu adalah waktu yang tepat untuk bersenang-senang. Teman saya memutar lagu-lagu judika, sementara kami asyik di bangku masing-masing; mengerjakan tugas sambil bernyanyi bersama-sama, saling pinjam kalkulator karena tak terima neracanya tidak balance, beristigfar bersama-sama, ah, ini adalah rutinitas ketiga yang juga saya rindukan.

Pukul 09.00 WIB kami bersama-sama salat dhuha. Ketika bosan, biasanya kami pergi ke kantin. Memesan batagor kuah dan memenuhi sebagian meja di kantin. Harga batagornya jauh berbeda dengan harga jajanan di kampus. Tiga ribu. Cuma tiga ribu. Harga yang terlalu murah untuk membeli kebersamaan yang takkan pernah saya temukan lagi. Selanjutnya kami kembali ke kelas, tapi bukan untuk melanjutkan pelajaran. Melainkan pulang. kami berjalan bersama-sama di bawah terik matahari. Meski pun saat itu begitu panas dan rasanya menyebalkan, tapi ternyata itu menjadi salahsatu yang saya rindukan.

Biasanya kami pulang ke rumah teman, membuat bioskop kecil-kecilan. Bioskop rumah dengan suasana sehangat keluarga. Rumah teman saya berubah menjadi panci berisi jejeran ikan pindang. Kami menonton film bersama-sama sampai sore. Ini adalah hal menyenangkan kesekian yang hilang dari hidup saya. Kemudian kami berpamitan pulang sambil membawa es yogurt yang disuguhkan oleh teman. Kemudian saya pulang dengan ringan, tanpa beban.

AH! Ada lagi hal yang saya rindukan di sekolah! Tidur-tiduran di halaman mushola yang bisa dijadikan kelas!  

Bagi saya, sekolah bukan hanya untuk menuntut ilmu, tapi juga untuk menghibur diri ketika ada hal yang membuat saya kesal di pagi hari. Berebut antrian kamar mandi, misalnya. Tiba di sekolah, saya bisa tertawa lepas sampai perut melilit dan kebelet pipis. Saya tak pernah merisaukan apa yang telah terjadi di hari itu. Saya tak pernah memusingkan kejadian-kejadian konyol yang saya buat di hari itu. Semua berjalan mengalir begitu saja. Saya dihibur teman, dan saya menghibur teman.

Saya akui ini alay banget. Tapi ini pertama dan terakhir kali hahaha

Ini pengalaman belajar nyanggul enam kepala :') Rata-rata orang nggak percaya kalo penata rambut adalah saya haha

Ini halaman mushola yang "tempat tidur-able"

Ibu-ibu rumpi. 

Upacara terakhir sebelum lulus. hiyeeeeh!

Tidur seenaknya. Asal nempel aja xD



Tapi saya merasakan hal berbeda hari ini. Memikirkan kejadian-kejadian hari ini membuat saya risau. Saya memikirkan bagaimana jika orang lain membenci saya? Bagaimana jika orang lain tak suka? Dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan yang justru menyiksa pikiran saya. Padahal, seharusnya saya tak perlu memusingkan hal itu. Toh kita hanya perlu menjadi diri sendiri. Menjadi pribadi yang orang lain inginkan hanya membuatmu lelah, bukan? Pasti ada yang tidak menyukaimu, tapi kita perlu berterimakasih pada orang-orang yang menerima kekonyolanmu.Tapi........... belajarlah untuk menjadi dewasa.

Komentar