Terhitung hari ini, saya ingin
menantang diri sendiri untuk menulis setiap hari. Semoga istiqomah. Awalnya
saya berpikir bahwa menulis hanya akan membebani saya karena saya sedang lelah
dan lain sebagainya. Jadi saya menulis ketika ide ada di benak saya. Kadang tulisan
itu tuntas, tapi tak sedikit cerita-cerita yang saya gantungkan. Padahal sebenarnya
menulis melepaskan keresahan.
Misalnya hari ini. Saya
beraktivitas seperti biasa, tapi kebetulan pulang lebih awal. Seperti biasa,
saya berjalan melewati gerbang kampus yang bersatu dengan gerbang sekolah SD,
kemudian menyeberang di pertigaan, melewati pedagang ayam krispi, melewati pasar,
berpapasan dengan orang-orang yang nongkrong
di depan bank BRI, kemudian berpisah di pertigaan dengan teman yang rumahnya searah.
Lalu saya melihat angkot sedang
menepi di pertigaan. Sadar atau tidak, saya selalu berhadapan dengan pertigaan.
Entah pertanda apa. Barangkali menjadi orang ketiga? Atau menjadi pilihan
ketiga? Atau keberuntunganku ada di angka tiga? Tulisan ini semakin lama
semakin ngawur.
Akhirnya saya naik angkot. Kemudian
kata-kata membelah diri di pikiran saya, menjelma beban yang rasanya tidak
tuntas jika tidak saya tuangkan. Ibarat peralatan rumah tangga, menulis dan
membaca adalah satu paket tea set. Di
dalamnya terdapat teko dan cangkir. Ketika menulis, saya menjadi teko yang menuangkan air ke dalam cangkir. Sedangkan ketika membaca, saya menjadi cangkir yang menerima tuangan air dari teko.
Prolognya terlalu panjang. Jadi
apa yang ingin dibahas?
Begini. Ketika saya di dalam
angkot, tidak hanya kata-kata yang membelah diri di pikiran saya. Tapi juga
kenangan. Awas lho, kenangan bukan hanya dengan pacar. Kenangan dengan pacar hanya
sebagian kecil dari bagian besar kenangan yang dimiliki setiap manusia di muka
bumi ini. HAHA!
Saya teringat kehidupan saya tiga
tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, kegiatannya sama saja; saya berangkat
pagi-pagi, pulang sore, berjalan kaki menikmati sore yang indah, dan pulang ke
rumah (saya sering pulang malam ketika kuliah, sebenarnya). Tapi sejak dua
tahun terakhir selalu ada yang mengganjal di hati dan pikiran saya setiap
pulang ke rumah. Setiap saya melamun di angkot, yang saya merefleksi diri
sendiri. Kadang saya merasa apa yang sudah terjadi hari ini menjadi kesalahan
tak termaafkan, dan seandainya bisa diulang, saya ingin mengubah hari ini juga
dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Barangkali ini yang dimaksud masa
transisi. Perubahan dari remaja menuju dewasa. Selama perjalanan pulang, saya membawa
diri saya kembali ke tiga tahun lalu. Setiap pagi, saya berangkat pukul 06.00
WIB. Padahal rumah saya lumayan dekat dengan sekolah. Bahkan terkadang berangkat
pukul 05.30 WIB. Terkadang saya menjadi orang pertama yang datang ke sekolah
ketika kabut masih tebal, parkiran masih lengang, lampu koridor masih menyala—bekas
semalam—, dan pintu kelas masih terkunci. Lalu saya duduk di tangga dan
menunggu teman-teman datang.
Ketika mereka datang, biasanya
kita mencari kelas, lalu duduk bergerombol, menyocokkan pekerjaan rumah sambil
mengobrolkan apapun, sampai hal-hal tidak penting yang bisa saja orang lain tak
perlu tahu—dan mungkin tak ingin mendengar. Bercerita tentang nightmare radio ardan, bercerita tentang
mimpi semalam yang lupa-lupa ingat, kejadian-kejadian kecil di angkot, lagu
terbaru, dan lain sebagainya. Percayalah, itu adalah hal mengasyikan pertama
yang menghilang di hidupmu ketika kamu menginjak bangku kuliah.
Setelah itu, bel masuk berdering.
Bisanya kami membaca asmaul-husna dan mengaji al-qur’an bersama-sama. Baiklah,
ini adalah rutinitas kedua yang menghilang dan begitu saya rindukan. Lalu bu
guru masuk. Memberikan materi sebentar, memberi tugas, lalu beliau izin ke bank
yang dikelola sekolah. Kami sadar itu adalah waktu yang tepat untuk bersenang-senang.
Teman saya memutar lagu-lagu judika, sementara kami asyik di bangku
masing-masing; mengerjakan tugas sambil bernyanyi bersama-sama, saling pinjam
kalkulator karena tak terima neracanya tidak balance, beristigfar bersama-sama,
ah, ini adalah rutinitas ketiga yang juga saya rindukan.
Pukul 09.00 WIB kami bersama-sama
salat dhuha. Ketika bosan, biasanya kami pergi ke kantin. Memesan batagor kuah
dan memenuhi sebagian meja di kantin. Harga batagornya jauh berbeda dengan
harga jajanan di kampus. Tiga ribu. Cuma tiga ribu. Harga yang terlalu murah
untuk membeli kebersamaan yang takkan pernah saya temukan lagi. Selanjutnya kami
kembali ke kelas, tapi bukan untuk melanjutkan pelajaran. Melainkan pulang. kami
berjalan bersama-sama di bawah terik matahari. Meski pun saat itu begitu panas
dan rasanya menyebalkan, tapi ternyata itu menjadi salahsatu yang saya
rindukan.
Biasanya kami pulang ke rumah
teman, membuat bioskop kecil-kecilan. Bioskop rumah dengan suasana sehangat
keluarga. Rumah teman saya berubah menjadi panci berisi jejeran ikan pindang. Kami
menonton film bersama-sama sampai sore. Ini adalah hal menyenangkan kesekian
yang hilang dari hidup saya. Kemudian kami berpamitan pulang sambil membawa es
yogurt yang disuguhkan oleh teman. Kemudian saya pulang dengan ringan, tanpa
beban.
AH! Ada lagi hal yang saya
rindukan di sekolah! Tidur-tiduran di halaman mushola yang bisa dijadikan
kelas!
Bagi saya, sekolah bukan hanya
untuk menuntut ilmu, tapi juga untuk menghibur diri ketika ada hal yang membuat
saya kesal di pagi hari. Berebut antrian kamar mandi, misalnya. Tiba di
sekolah, saya bisa tertawa lepas sampai perut melilit dan kebelet pipis. Saya
tak pernah merisaukan apa yang telah terjadi di hari itu. Saya tak pernah
memusingkan kejadian-kejadian konyol yang saya buat di hari itu. Semua berjalan
mengalir begitu saja. Saya dihibur teman, dan saya menghibur teman.
Saya akui ini alay banget. Tapi ini pertama dan terakhir kali hahaha |
Ini pengalaman belajar nyanggul enam kepala :') Rata-rata orang nggak percaya kalo penata rambut adalah saya haha |
Ini halaman mushola yang "tempat tidur-able" |
Ibu-ibu rumpi. |
Upacara terakhir sebelum lulus. hiyeeeeh! |
Tidur seenaknya. Asal nempel aja xD |
Tapi saya merasakan hal berbeda
hari ini. Memikirkan kejadian-kejadian hari ini membuat saya risau. Saya memikirkan
bagaimana jika orang lain membenci saya? Bagaimana jika orang lain tak suka? Dan
lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan yang justru menyiksa pikiran saya. Padahal,
seharusnya saya tak perlu memusingkan hal itu. Toh kita hanya perlu menjadi
diri sendiri. Menjadi pribadi yang orang lain inginkan hanya membuatmu lelah,
bukan? Pasti ada yang tidak menyukaimu, tapi kita perlu berterimakasih pada
orang-orang yang menerima kekonyolanmu.Tapi........... belajarlah untuk menjadi dewasa.
Komentar
Posting Komentar