“Dua Orang Yang Namanya Sama” 
Oleh: Ismi Aliyah

                Aku mengenal mereka di waktu dan tempat yang berbeda. Aku mengenal dia satu tahun lalu. Saat itu, restoran sedang penuh. Kepalaku menjadi kepala paling senyap karena asyik membaca buku ketika orang-orang berseliweran membawa makanan di atas nampan atau baru saja mengambil buku menu. Barangkali jam makan siang dan hujan deras adalah kombinasi yang paling diharapkan pemilik restoran. Sepiring kentang goreng terhidang di hadapanku, di sampingnya terdapat segelas milkshake avocado yang tinggal setengahnya lagi dan sisa-sisa saus steak di atas hotplate. Hujan menahanku untuk pulang.

Ketika jemariku membuka halaman selanjutnya, seseorang mengagetkanku. “Pembatas bukumu jatuh?”

Pandanganku beralih pada lelaki yang berdiri di samping kananku. Aku tersenyum. “Terima kasih.”

“Kau suka Tere Liye?” katanya lantas duduk di hadapanku tanpa permisi.

“Tidak juga. Kebetulan saja aku sedang membaca Sepotong Hati Yang Baru. Karya lain yang pernah kubaca paling Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin,” sahutku. Ah, untuk apa aku mengatakan hal itu, tambahku dalam hati.

Lelaki itu mengangguk. Beberapa tetes air yang menetes dari ujung rambut membasahi pelipisnya. Detik berikutnya dia menggosokkan kedua telapak tangan. Nampaknya ia kedinginan setelah berhasil menembus hujan. Pandanganku kembali beralih pada rentetan kalimat yang tadi sedang kubaca. Sialnya aku lupa paragraf terakhir yang kubaca.

“Oh ya. Kita belum kenalan. Aku Azam. Kau sendirian? Atau menunggu seseorang? Aku tidak apa-apa duduk di sini, kan? Semua meja nyaris penuh.” Dia berkata sambil menengok ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang. Ia menembakku dengan berbagai pertanyaan yang hanya kujawab dengan senyuman.

“Silahkan. Namaku Anjali.” kataku tanpa memandang wajahnya.

Saat itu hujan turun begitu deras, dia membuat percakapan kami memanjang.

***

Yang aku tahu, kita tidak bisa meremehkan hal kecil. Hal kecil bisa jadi besar. Percakapan kami ketika tejebak hujan di sebuah restoran menciptakan pertemuan-pertemuan lain. Awalnya aku dan Azam membicarakan tentang film favorit, lalu beberapa kali kami memutuskan untuk menonton ke bioskop. Beberapa kali pula Azam mengajakku makan malam. Pertemanan bisa dimulai dari mana saja, begitu pun cinta.

Azam. Awalnya dia bukan siapa-siapa di hidupku. Aku tidak sadar sejak kapan aku mulai  menabung setiap pandangan yang ia curi, merekam setiap tawa yang dia ciptakan, dan menulis apa saja yang kami lalui sebagai cara untuk mengekalkan kenangan.

Dia selalu bercerita tentang banyak hal. Banyak cerita yang kami tukar ketika bertemu. Pernah pada suatu hari dia mengajakku pergi ke stasiun di pagi buta. Bahkan saat itu azan subuh belum berkumandang. Aku sengaja menginap di kosan teman agar orangtuaku tak tahu aku pergi dini hari. Setibanya di sana, kami segera masuk ke antrian tiket. Lalu kami duduk di bangku yang menghadap ke jalur kereta. Kami menunggu hingga hari tak lagi gelap.

“Aku suka melihat matahari terbit dari sini.”

“Iya, indah.” Mataku menyipit saat cahaya berwarna kekuningan memantul di rel kereta. Sebuah kereta baru saja menepi. Beberapa orang turun dari gerbong dan menimbulkan siluet yang indah. 

“Kamu suka fotografi?” Azam bertanya. Aku mengangguk tanpa melihat wajahnya. Aku sibuk mengabadikan pemandangan di depanku.

Pertemuan di stasiun menjadi pertemuan terakhir. Perlahan aku mulai kehilangan kata-kata. Setiap abjad di keyboardku tak lagi dapat merangkai cerita yang menarik. Dia membisu. Dunia membeku. Pertemuan-pertemuan itu tak lagi ada.

***
Kurasakan laju kereta menjadi pelan. Beberapa penumpang yang duduk di bagian depan gerbong sudah mengantri di koridor hingga pintu belakang untuk turun. Aku segera merapikan barang bawaanku. Setelah antrian agak mereda, aku berdiri dan turun dari gerbong kereta. Di kejauhan, seorang lelaki melambaikan tangan. Di lehernya tergantung sebuah kamera. Meski pun jaraknya lumayan jauh, aku dapat melihat bibirnya menyunggingkan senyum selebar dunia.

Jantungku berdebar. Rindu yang kupendam akhirnya terbayar tuntas. Aku mempercepat langkah. Lelaki itu merentangkan tangannya yang langsung disambut peluk hangat dariku.

“Kamu belum mandi, Zam?” tanyaku iseng setelah pelukan kami merenggang. Dia menggelengkan kepala sambil mengotak-atik kameranya.

“Ih. Jorok. Tapi aku sayang sama kamu.” ujarku sambil mengacak-acak rambutnya yang kini sudah semakin panjang; menutupi kerah dan daun telinga.

“Salah sendiri. Kenapa kamu harus tiba di Badung jam lima subuh?  Kan aku ingin jadi orang pertama yang menyambutmu ketika kamu tiba di sini.” sahutnya kemudian membidik lensa kamera ke arahku.

Tanganku langsung menepis kameranya perlahan. “Kebiasaan. Kamu suka mengambil fotoku diam-diam.”

Dia terkekeh.

Setelah itu kami meninggalkan stasiun dan mencari warung kopi untuk mengganjal perut.

“Kamu mau di Bandung berapa hari?” Azam bertanya.

“Sekitar satu minggu. Aku mau menginap di rumah tante satu malam, di kosan Dina dua malam, dan di kosan Fany dua malam. Aku kangen. Di Jakarta nggak ada teman seperti mereka, untungnya—“ kalimatku tak selesai dan menggantung di udara.

“Untungnya?” sudut mata Azam melirikku, menanti kalimat selanjutnya.

“Untungnya ada skype, setidaknya kita masih bisa mengobrol dengan tatap muka.” lanjutku.

“Oh. Salah sendiri kenapa malah pindah rumah ke Jakarta.” Azam mengaduk bubur kacang hijaunya. Aku hanya mengigit sendok dengan gemas.

Hari mulai siang ketika aku dan Azam keluar dari warung kopi. Kami bergegas menuju parkiran. Ia mengeluarkan motor vespa kesayangannya. Kami pun berbincang di sepanjang jalan.

“Zam, kita mau ke mana?”

“Ke rumahku. Kita sudah berpacaran empat tahun. Masa kamu nggak mau terus diajak ke rumah?”

“Zam, aku malu.” teriakku karena suaraku kalah oleh angin yang menderu kencang.

Azam membelokkan motornya memasuki perumahan. Kemudian motor kami menepi di sebuah rumah bercat hijau. Ia turun dari motor dan menggeser pagar. Di halaman rumah, seorang perempuan—yang kelihatannya seumuran dengan ibuku— sedang menyiram tanaman anggrek. Ia menghentikan aktivitasnya ketika menyadari kehadiran kami.

“Eh? Anjali ya?”

Aku tersenyum dan berkata,”iya tante.”

“Ayo masuk. Tante sudah menyiapkan sarapan.”

“Oh Ya Ampun. Kedatanganku jadi merepotkan.”

“Nggak apa-apa. Azam sering bercerita tentang kamu, tapi kita belum sempat bertemu ya. Makanya ketika kamu datang ke sini, tante sudah menyiapkan makanan kesukaanmu. Azam yang memberitahu sih,” katanya sambil menggiringku masuk ke dalam.

Senyumnya tulus, perkataannya halus selembut sutera, membuatku merasa nyaman.

“Tapi tante, aku mau ke toilet dulu.”

“Oh, kebetulan toilet untuk tamu sedang diperbaiki. Pakai yang di kamar Azam dulu saja, ya.”

Azam mengajakku menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. “Aku menunggu di luar ya.” ujarnya setelah membukakan pintu kamarnya.

Aku segera memasuki kamar mandi. Lima menit kemudian aku sudah keluar lagi. Mataku tertumbuk pada deretan figura berukuran sedang berwarna hitam yang terletak di atas meja belajar.  Di sana terdapat foto seorang bayi—barangkali Azam kecil—, foto Azam bersama ibunya, foto Azam dengan teman-teman SMAnya, dan beberapa beberapa foto pegunungan dan senja—Azam menyukai alam—. Yang paling mencuri perhatianku—dan semoga aku tak salah lihat—adalah foto Azam bersama beberapa orang yang mengenakan baju putih.

“Zam, ini siapa?”

“Mana?” Ia mendekatiku. “Oh.. Itu foto semua cucu di keluargaku. Yang itu, Rena, dia SMA kelas dua. Itu Raka, dia kuliah di UNPAD. Itu Wulan, baru mau masuk kuliah tahun ini.  Itu Faiz, adikku, dia masih SMP tapi badannya lebih besar dari badanku. Dan yang paling konyol, yang itu. Namanya Azam. Dia tinggal di Jakarta. Nama kita sama, wajah kita berbeda. Umur kita juga berbeda enam bulan. Nama Azam sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Jadi diantara orangtuaku dan orangtuanya, tidak ada yang mau mengalah untuk mengganti nama. Akhirnya aku dipanggil Azam besar dan dia dipanggil Azam kecil.”

“Oh.”

“Azam sudah lama tidak pulang ke Bandung. Padahal aku penasaran dengan ceritanya.” Azam melanjutkan cerita tanpa kuminta.

“Cerita?”

“Iya, katanya dia jatuh cinta pada seorang perempuan yang tak sengaja menjatuhkan pembatas buku ketika ia berteduh di sebuah restoran steak.” jawab Azam dengan tawa lepas. Aku tertawa sumbang.

“Lalu bagaimana?”

“Dia tak pernah curhat lagi sejak beberapa bulan yang lalu. Terakhir kali, ketika aku curhat dan mengirimkan fotomu. Dia penasaran siapa pacarku.”

Lututku melemas. Tiba-tiba saja aku ingat. Azam yang kukenal di Jakarta pernah bercerita bahwa sepupunya adalah seorang fotografer. []








Komentar