“Gadis Penawar Kesedihan”
Oleh: Ismi
Aliyah
S
|
etelah menunggu setengah jam,
Sheila mendengar suara gemuruh diiringi
peluit yang melengking. Kereta yang akan mengantarkannya ke Jogjakarta akhirnya
tiba. Sheila mendesah lega lantas
menengok jam yang melingkar di tangan kiri. Tepat pukul delapan malam. Aku bisa
tidur selama perjalanan, pikirnya.
Kereta itu berhenti di depan
Sheila. Gadis itu tenggelam bersama puluhan orang berlomba-lomba masuk ke dalam
gerbong. Setelah berhasil naik, Sheila segera mencari tempat duduk yang nyaman;
dekat jendela misalnya. Tak berselang lama, kereta melaju, meninggalkan Stasiun
Gambir dengan perlahan.
Ah, Jakarta. Ada beberapa hal
yang harus kubuang jauh-jauh, Sheila mendesah di dalam hati. Ia menyandarkan kepala
ke belakang kursi, pandangannya menembus jendela. Tiba-tiba kenangan itu muncul
begitu saja. Seseorang pernah berjanji kepadanya, “Nanti kita naik kereta, ya. Kita
jalan-jalan.” Tapi sebelum janji terpenuhi, orang itu pergi. Setiap memikirkan
orang itu, Sheila kesal bukan main. Rasanya ingin melompat dari lantai sepuluh
saja.
Satu bulan yang lalu, mereka
memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Kadang Sheila merasa itu keputusan paling
benar, tapi terkadang ia menyesal. Terkadang Sheila percaya bahwa yang terjadi
hari ini adalah yang terbaik, tapi terkadang ia merasa ini sungguh tidak adil. Dan
setiap Sheila merasa di posisi paling mencekik, ia hanya bisa menangis. Sheila bisa
menghabiskan malam dengan menangis, hingga matanya membengkak di keesokan hari.
“Kau kenapa? Sejak kereta melaju aku
tak mendengar kau berhenti senggukan.” Seorang gadis yang duduk di depan Sheila
menegur. Sheila bahkan tak menyadari kehadirannya hingga gadis itu menegurnya.
Sheila mengelap pipi dengan
punggung tangan. Sheila pun tak mengerti mengapa dirinya selemah ini. Sheila hanya
bisa menghela napas dan membiarkan udara segar masuk ke rongga dadanya yang
sesak. Setelah menarik napas, Sheila menangis lagi.
“Ada yang ingin kau ceritakan?”
ia bertanya lagi.
Sheila menggelengkan kepala.
“Aku tak memaksamu untuk
bercerita, tapi percayalah, membagi kesedihan akan meringankan bebanmu.”
“Aku tidak apa-apa.” Sergahku.
Gadis itu mengekeh pelan. “Baiklah,
aku percaya kau tidak apa-apa meskipun sejak kereta melaju kau tidak berhenti
menangis.”
Sheila agak kesal. Orang asing
itu seolah-olah ingin mencampuri urusannya.
Kereta semakin jauh meninggalkan
Kota Jakarta. Sheila tak sadar kapan tertidur, karena menangis membuatku lelah.
Sheila membuka kelopak mata dengan perlahan. Ia melihat gadis di depannya masih
terjaga. Ia asyik melihat pemandangan di luar. “Kau tidak mengantuk?”
“Belum, ada seseorang yang
membuatku semangat untuk tiba di Jogja.”
“Pacarmu, ya? Ah aku jadi iri.”
Gadis itu tergelak sambil
membetulkan letak kacamata. “Pacar?” ia mengulangi pertanyaan Sheila. Sebelum Sheila
menjawab, ia segera melanjutkan, “Bukan. Aku tidak punya pacar. Oh iya, kau
sudah merasa baikan?”
“Um.. ya, lumayan. Aku tidak tahu
lagi bagaimana cara meluapkan emosi.”
“Tidak apa-apa, menangis itu
boleh, asal jangan berlarut-larut.”
“Nah. Itu masalahnya. Aku tidak
bisa berhenti menangis. Rasanya aku ingin buta saja. Aku sakit melihat
kekasihku sekarang bersama dengan sahabatku.”
“Kau yakin? Kau tidak mau melihat
mereka lagi?”
Sheila mengangguk dan melipat
tangan di dada. Setiap menceritakan hal itu, Sheila selalu naik pitam. Sheila menceritakan
bagaimana Edo meninggalkannya begitu saja setelah mereka berpacaran tiga tahun.
Terkadang Sheila berpikir kenangan masa lalu mereka adalah sampah baginya. Belum
juga hatinya membaik, kabar buruk—yang seharusnya menjadi kabar bahagia— datang
kepada Sheila. Aira, sahabatnya, sudah mempunyai pacar baru. Doa Sheila sepertinya
terkabul, Sheila pernah berdoa agar Aira mendapatkan lelaki yang lebih baik
dari Peter. Ternyata jawaban dari doa Sheila adalah kebahagiaannya yang ditukar
begitu saja; pacar baru Aira adalah Edo. Baiklah,
tamat riwayatku. Barangkali keikhlasanku sedang diuji. Kalimat itu selalu
menggaung di relung hati Sheila.
“Jadi kau lari ke Jogja untuk
melupakan masa lalu?”
“Kurang lebih begitu.”
Karena obrolan kami menemui jalan
buntu, akhirnya Sheila yang balik bertanya. “Kau sendiri, untuk apa pergi ke
Jogja?”
“Pulang, aku rindu Ibu. Sudah lama
nggak ketemu. Kebetulan ada undangan pernikahan temanku.”
Sheila mengangguk pelan. Dia mengira
perbincangan mereka akan berakhir sampai di situ. Ternyata gadis itu kembali
bercerita.
“Aku pernah berpacaran. Baru satu
kali seumur hidup. Kami pacaran sejak kita kelas satu SMP, sampai kita kuliah
semester delapan. Sekitar dua bulan lalu kita putus.”
“Kenapa putus?”
“Kita sudah berusaha
mempertahankan. Tapi Allah Maha Merencanakan, bukan?”
“Astaga. Pasti lelaki itu
mencampakkanmu.”
“Bagiku itu tidak penting. Sembilan
tahun bersama-sama, kalau pada akhirnya harus berpisah ya berpisah. Menurutku
lebih penting mengingat ibu. Dia bekerja keras untuk membiayai kuliah.”
Sheila tertegun, teringat
perilaku bodoh yang ia lakukan sejak putus; mogok menulis skripsi, menangis
menghamburkan tissue, tidak mau makan, tidak bisa tidur, mengurung diri di
kamar, nyaris berpikiran untuk bunuh diri, dan sekarang; pergi ke Jogja tanpa
arah dan tujuan, tanpa ada orang yang dikenal. Sheila sama sekali tidak
memikirkan risiko apa yang akan kuhadapi jika Sheila tidak bertemu dengan gadis
itu. Astaga, cinta itu pembodohan.
***
Kereta sampai di Stasiun Tugu
ketika pagi menjelang. Sheila segera bersiap-siap untuk turun dari kereta. Orang-orang
memenuhi koridor, lagi-lagi berebut turun duluan.
“Kau sudah memutuskan mau pergi
ke mana?” Gadis itu bertanya. Sheila bergumam. “Ikut saja denganku.”
“Boleh? Baiklah. Ayo turun.”
“Tunggu sebentar.”
“Ada apa?”
“Apa kau melihat tongkatku? Aku tidak
bisa melihat sebenarnya.” Gadis itu mengekeh.
Aku terhenyak. Gadis itu sibuk
mencari tongkat yang disandarkan di dekat jendela. Setelah berhasil
menemukannya, dia bangkit dan menarik tangan Sheila. “Ayo turun.”
Sheila masih mematung. Sekujur tubuhnya
menegang. “Ayo..” gadis itu menarik tangan Sheila lagi.
“Besok mantan kekasihku menikah. Aku
harus memberi hadiah apa ya? Kira-kira apa yang dibutuhkan oleh pengantin baru?
Perlatan makan? Peralatan memasak? Jam? Bed
cover? Ah aku bingung. Kalau kau bersedia, bantu aku mencari hadiah terbaik
ya. Aku tidak bisa melihat benda yang sangat bagus, tapi aku tidak ingin
membuat orang yang kucintai kecewa.” Gadis itu meracau.[]
Ikut tantangan #KeretaAksara @kampusfiksi
Komentar
Posting Komentar