Hujan; Perpisahan dan Pertemuan tak
Terduga
Source: google.com |
Judul : London: Angel
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagas Media
Cetakan : Cetakan pertama, 2013
Tebal : x+ 330 halaman
ISBN : 979-780-653-7
Well, aku baru selesai baca novel London
karya Windry Ramadhina. Sebenernya ini
adalah buku kedua Windry yang aku baca. Sebelumnya, aku cukup terpukau dengan
novel Montase. Ceritanya bener-bener mengalun, bikin tenggelam dalam lautan
kegalauan. Bhak! :”) Makanya aku penasaran dengan karya-karya Windry yang
lainnya.
Kembali ke novel London. Novel itu
bercerita tentang persahabatan antara Gilang dan Ning. Awal cerita memang
terkesan klise. Banyak banget cerita tentang sahabat jadi cinta. Ning, adalah
sahabat Gilang sejak kecil. Mereka tinggal bersebelahan, jendela kamar mereka
saling berhadapan, semacam video klip You
Belong With Me nya Taylor Swift gitu deh. Seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh
dewasa. Gilang yang belajar teknik mati-matian, akhirnya memiliki takdir di
bidang sastra. Dia bekerja sebagai editor sekaligus penulis. Dia memiliki empat
sahabat, yaitu Hyde, Dee, Dum, dan Brutus. Brutus adalah teman sekamar
indekosnya.
Awal cerita, mereka sedang berada di
pub. Layaknya orang dewasa, perbincangan tentang pernikahan selalu jadi topik
pembicaraan yang nggak ada habisnya. Mereka saling menanyakan pasangan. Hyde akan
menikah dalam waktu dekat. Gilang teringat Ning yang sekarang berada di London.
Ia meneruskan kuliah seni dan memutuskan untuk bekerja di sana. Keempat sahabat Gilang menantangnya untuk
menyusul Ning ke London. Semua persiapan keberangkatan Gilang ke London
disiapkan oleh mereka, termasuk penginapan.
Pada saat penerbangan, ia duduk
berdampingan dengan seseorang yang sedang memperjuangkan cintanya juga. Gilang menjulukinya
V, karena dia mirip dengan V pada film V for Vendetta. V pergi ke London untuk menyelamatkan
pernikahannya yang nyaris hancur.
Gilang tiba di London saat musim hujan. Semangatnya
yang menggebu harus ditahan karena ternyata Ning tidak ada di indekosnya ketika
Gilang tiba. Menurut tetangganya, Ning suka pergi beberapa hari, tapi dia pasti
kembali. Gilang tak hilang arah, akhirnya ia memutuskan untuk berkeliling
London. Ed, pegawai restoran Medge merekomendasikan untuk pergi naik London Eye,
salah satu ikon kota London yang terkenal. Tiba di sana, gerimis turun. Gilang
baru menyadari bahwa ia phobia ketinggian, tetapi seorang gadis misterius
memberikannya sebuah payung merah. Gadis itu menarik Gilang untuk naik London
Eye. Gilang tak bisa menolak. Ketika mereka turun, hujan mulai reda. Gilang berniat
membeli kopi untuk mereka berdua. Namun ketika kembali, gadis itu menghilang,
hanya tertinggal payungnya saja. Gilang menjulukinya Goldilocks.
Selebihnya cerita berlangsung
monoton, mungkin karena ingin mengekspos kota London, fokus cerita jadi agak
kabur. Ditengah-tengah cerita terlalu banyak memaparkan kota London tanpa
menceritakan kemana perginya Ning. Pembaca hanya diajak berputar-putar membahas
kota London, bahkan karya-karya sastranya juga. Tapi menurutku, sebagai anak sastra,
itu adalah hal yang bagus, kan jadi nambah pengetahuan hehe. Selain itu,
penulis juga bisa meramu kata dengan baik, jadi meski pun seolah-olah kita baca
yellow pages, tapi kita semakin
penasaran sebenarnya kemana Ning dan siapa gadis misterius itu.
Restoran Medge membuat Gilang betah,
selain sudah mengenal pemilik dan pelayannya dengan baik, di restoran tersebut
terdapat banyak buku. Salah satu pengunjung lainnya adalah Ayu, gadis asal
Indonesia. Ayu pemburu buku-buku sastra klasik.
Suatu hari Ning kembali, dia datang
ke restoran Medge dan bertemu dengan Gilang. Keduanya merasa senang. Ning mengajaknya
pergi ke galeri. Disana ia bertemu dengan Finn, seniman patung yang sangat
dikagumi oleh Ning. Gilang menangkap tatapan Ning bukan lagi tatapan kekaguman,
tapi tatapan cinta. Gilang meninggalkan Ning untuk melihat-lihat souvenir. Hujan
turun lagi. Ia melihat Goldilocks berada di kerumunan orang, tetapi ketika ia
mengejar, gadis itu menghilang. Gilang dikagetkan oleh kehadiran V. Ia berniat
meminjam payung merah yang dipakai oleh Gilang. V berjanji akan mengembalikan
payung itu dalam waktu beberapa menit, tapi setelah ditunggu berjam-jam dia tak
kembali.
Gilang berniat mengganti payung itu,
dia pergi ke sebuah toko payung. Pemilik toko bercerita tentang malaikat yang
turun ke bersama hujan. Gilang teringat pada Goldilocks. Setelah membeli payung
dengan harga selangit, V mengembalikan payung pada Gilang, ternyata payung
tersebut menjadi perantara sehingga V dan istrinya rujuk kembali. Gilang yang
awalnya pesimis takut ditolak Ning, jadi kembali bersemangat. Masalahnya, dulu
Gilang dan Ning bersahabat dengan seorang laki-laki, dia menyukai Ning. Tapi ketika
laki-laki itu menyatakan cinta, Ning malah menjauh. Gilang takut hal itu
terjadi padanya.
Ketakutan itu bikin Gilang kalaf,
dia mabuk. Di bar dia bertemu Mister Lowesley, rupanya Mister Lowesley juga
lagi galau, soalnya dia udah nunggu Madam Ellis bertahun-tahun, sampe umurnya
setengah abad. Haffff menunggu emang menyebalkan ya? :”) Meski pun udah tua,
Mister Lowesley punya nyali lebih besar dari Gilang. Dia ke restoran Medge
keesokan harinya dan bikin keributan. Setelah Mister Lowesley bikin kacau, dia
minta maaf pada Madam Ellis, tapi Madam Ellis tetap keras, hatinya tetap untuk
George (suaminya yang meninggal lima tahun lalu). Ceritanya Madam Eliis ngga bisa
move on.
Hujan turun lagi, Mister Lowesley
pergi entah kemana. Madam Ellis mulai khawatir, akhirnya Gilang mengantar Madam
Ellis menemui Mister Lowesley ke tempat bermainnya waktu kecil. Berkat payung
merah itu, Madam Ellis menerima cinta Mister Lowesley. Keyakinan Gilang akan
cintanya semakin kuat. Ia bertekad untuk menyatakan cintanya pada Ning. Awalnya
Ning ragu-ragu, tapi akhirnya dia menerima. Gilang merasa bersalah, ia tahu
Ning nggak cinta dia. Akhirnya Gilang nggak memaksakan lagi perasaannya. Cerita
nggak selesai sampe sana. Ada bagian terakhir sebelum epilog yang aku suka,
yaitu pas bagian Goldilocks. Goldilocks itu bernama Angel. Ada quotes favorit
yang akhirnya menyadarkan aku kalau semua orang berhak untuk bahagia dengan
caranya masing-masing.
“Tidak
ada yang terenggut. Setiap orang punya keajaiban cintanya sendiri. Kau hanya
belum menemukannya.”
Cerita berakhir dengan bertemunya
Gilang dengan Ayu. Saat itu hujan turun, mereka harus pergi ke Heatrow,
akhirnya Gilang menawarkan memakai payung merah berdua. Sejak saat itu, Gilang
merasa nyaman berada di dekat Ayu. Sebenernya banyak pelajaran yang bisa kita
ambil dari novel ini. Pertama, tentang pentingnya persahabatan. Bukan persahabatan
Ning dan Gilang, tapi persahabatan Gilang dan keempat temannya. Mereka benar-benar
teman yang peduli. Kedua, tentang kesabaran. Penantian Mister Lowesley yang
panjang pasti dibarengi dengan kesabaran. Sekeras apapun hati orang lain, jika
kita tulus mencintainya seiring berjalannya waktu, hatinya akan luluh juga. Lagi-lagi
masalah waktu haha. Ya tinggal pilih aja, mau nunggu bertahun-tahun dengan
rindu yang menyiksa, atau pergi dan menemukan pengganti. Selain kesabaran, yang ketiga adalah
kesetiaan. Kesetiaan juga banyak diajarkan oleh Mister Lowesley, dia memang
penunggu yang tangguh.
Bacaan ini cocok buat yang baru
ditinggal orang yang disayang wkwkw. Ungkapan perpisahan adalah awal dari pertemuan dibuktikan oleh novel ini. Sebenarnya
kita tak perlu khawatir, cara terbaik bukan memaksakan, tapi merelakan dia
bahagia. Bukankah kebahagiaan dia adalah kebahagiaanmu juga? Bullshit emang,
tapi cuma keikhlasan cara kita mengobati rasa kecewa. Selamat membaca! J
Terima kasih atas resensinya, ceritanya kayaknya seru pengen punya novel ini :D
BalasHapusJangan lupa kunjungi juga Resensi Novel Surat Untuk Wai Tsz
terima kasih sudah membaca :)
BalasHapusBagus sekali resensi nya. Saya juga suka novel ini, menceritakan tentang perpisahan dengan orang yang kita sayang. Iklhaskan saja mereka. Karena melepaskan adalah salah satu cara yang paling tepat untuk berpisah. Bagi yang penasaran dengan novel ini. Silahkan download di SINI
BalasHapus