Seminggu yang
lalu, Kirei menerima surat undangan pernikahan Abi. Malam ini ia sudah berada
di Bali untuk menghadiri pesta itu. Ia baru saja selesai merias wajahnya. Sebuah
gaun selutut berwarna merah dengan bagian bahu terbuka sudah terpasang pada
tubuhnya. Seulas eye-shadow dengan
warna senada kembali dibubuhkan karena warnanya masih dirasa kurang seimbang. Detik
berikutnya ia memasangkan anting dan
merapikan lipstick yang keluar dari
garis bibirnya. Kirei berdiri dan mematut pantulan dirinya dalam cermin,
barangkali ada sesuatu yang kurang. Namun ia membuang beberapa detik hanya untuk
berpandangan dengan matanya di dalam cermin. Ia menyelami dirinya, membujuk
hatinya yang paling bebal, mengatakan semua
akan baik-baik saja. Perlahan sudut bibirnya terangkat sempurna.
Kirei meninggalkan
hotel tempatnya menginap ketika waktu menunjukan tepat pukul tujuh malam.
“Rei, kamu di
mana?”
“Dalam
perjalanan, sebentar lagi sampai. Kapalnya sudah mau berangkat?”
Tidak ada
jawaban. Hanya terdengar gemuruh seolah sinyal begitu jelek. “Bi? Kapalnya sudah
mau berangkat?” Kirei mengulang pertanyaan.
“Hm-mm.”
Kirei membayangkan
lawan bicaranya mengangguk. Dia mengekeh pelan, “tenang saja, aku tidak akan
terlambat.”
Selang beberapa
menit kemudian Kirei sampai di tempat tujuan. Setelah menyerahkan beberapa
lembar uang sepuluh ribu rupiah, ia bergegas menuju tempat resepsi pernikahan. Orang-orang
telah berkumpul di sekitar dermaga. Matanya berpendar mencari teman-teman
lamanya yang barangkali saja datang. Namun ia hanya melihat orang tak dikenal
berlalu lalang.
“Rei!”
Gadis itu
menoleh ke belakang ketika namanya diseru. Ah,
syukurlah. Kirei mendesah dalam hati. Setidaknya kehadiran Donna sedikit
merontokkan kegugupannya. Jantungnya memompa sedikit lebih pelan, akhirnya ia
bisa merasakan angin pantai yang berembus kencang masuk ke rongga dadanya.
“Kenapa kita
nggak nginep bareng aja, sih?” Donna
menggandeng tangan Kirei dan menyeret tubuhnya menuju dermaga.
“Ada kerjaan
yang nggak bisa ditinggalin. Jadi aku baru berangkat tadi pagi.”
“Padahal kamu
nggak harus dateng, Rei.”
“Mana bisa! Ini
adalah jawaban dari semua doaku selama ini, Na.”
“Kamu bikin
Abi nunggu kelamaan. Abi datang, kamu suka tiba-tiba menghilang.”
“Aku ragu,
selalu setengah hati.” Sahut Kirei.
“Itu cuma pikiranmu
aja.”
“Udahlah, ini
takdir.” Tandas Kirei.
Satu persatu
tamu dipersilahkan naik ke kapal pesiar. Pesta pernikahan digelar dengan megah.
Kirei senang ketika mendengar Abi berhasil membuka beberapa cabang bisnis
propertinya di beberapa kota. Abi, teman semasa SMA yang dianggapnya bodoh
karena sering ketiduran di kelas, kini telah berubah menjadi pengusaha sukses. Waktu
pasti banyak mengubah keadaan, yang jadi masalah adalah kita mau berubah atau
tidak.
Kirei merasakan
angin laut meresap ke dalam pori-pori kulitnya ketika kapal mulai bergerak. Ia
dan Donna berdiri di tepi kapal dan memandang hamparan laut yang berombak
tenang. Keduanya saling menutup mulut. Sejujurnya, Donna tidak tahu apa yang
harus dilakukan.
Kirei belum
juga bertemu dengan Abi. Sebenarnya sejak tiga tahun lalu. Kirei tak tahu lagi
apa yang sekarang ada di benaknya, semua bercampur baur tak karuan. Bahkan
ketika ingar bingar musik menerjang gendang telinganya, ia tetap merasa hatinya
senyap. Kirei dikagetkan oleh pelayan yang sejak tadi hilir mudik membawa makanan atau sekedar
segelas minuman. “Softdrink?”
“Oh, terima kasih.”
Kirei mengambil segelas softdrink,
begitu pun Donna. Selanjutnya Kirei meneguknya dengan tatapan masih lurus ke
depan.
“Udah kayak
gini, masih ngerasa setengah hati?” Donna menatap siluet wajah Kirei dari
samping. Air mukanya begitu keruh, bahkan ketika make-up menutupi wajahnya. Tetap saja polesan eye-shadow berwarna merah tak dapat menyembunyikan air mata yang
siap meluncur di pipinya.
“Na, kebahagiaan adalah milik aku dan Abi. Tapi
rasanya kesedihan kok cuma milik aku, ya?” Kirei berkata tanpa mengalihkan
wajah. Suaranya terdengar bergetar dengan kentara, padahal angin menderu cukup kencang.
Donna segera
merangkul bahu Kirei. Kirei menarik napas dengan berat, ketika mengembuskannya
kembali, ia merasakan air mata jatuh di pipinya. Ia tersenyum lantas melepas
gelang berbandul lumba-lumba yang melingkar dipergelangan tangan kanannya.
“Bi, sepertinya ini adalah waktu bagi kita—maksudku
aku, untuk terbagun dari mimpi indah. Menenggelamkan gelang ini, bukan berarti
melupakan kenangan yang sudah kita bangun bersama-sama. Waktu menjawab
penantian kita, kan? Tidak hanya gelang, tapi hatiku juga karam.”
***
Sudah nyaris
pukul delapan. Tamu undangan telah berdatangan, tapi Kirei belum juga
menampakkan batang hidungnya. Bagaimana pun, Abi ingin dia hadir. Abi segera
meraih ponsel selagi Prisca berganti pakaian. “Rei, kamu di mana?”
“Dalam
perjalanan, sebentar lagi sampai. Kapalnya sudah mau berangkat?”
Mendengar
suara itu, dada Abi menghangat. Suara itu menariknya kembali ke masa lalu,
dimana ia dan Kirei sedang senang-senangnya membicarakan masa depan.
“Bi? Kapalnya udah mau berangkat?” ucapan
Kirei mengagetkannya.
“Hm-mm.” Abi
mengangguk padahal ia tahu, Kirei tidak bisa melihat anggukan kepalanya. Kemudian
Abi mendengar Kirei mengekeh, “tenang saja, aku tidak akan terlambat.”
Sebenarnya Abi
merasa takut, bahkan merasa bersalah. Namun tatapan mata Kirei selalu membuat
hatinya sejuk. Tak lama kemudian, kapal mulai berlayar ke tengah laut. Orang yang
pertama kali ingin ia temui ketika keluar dari ruang ganti adalah Kirei. Tapi Prisca menarik tangan Abi untuk menemui
teman-temannya. Akhirnya ia ikut berbincang-bincang sejenak.
Prisca mengangguk
setelah Abi meminta izin untuk ke toilet. Abi segera bergegas ke setiap sudut
kapal untuk mencari Kirei. Langkahnya terhenti ketika melihat dua orang sedang
menghadap laut, salah satunya bergaun merah. Rambutnya disanggul asal, anak
rambut yang tak terikat melambai-lambai ditiup angin laut. Dia tampak cantik
meski pun dilihat dari samping.
Abi menatap
Kirei dari kejauhan. Melihatnya berbicara, meneguk softdrink, dan menyisipkan rambutnya yang berterbangan ke belakang
telinga membuat waktu Abi berhenti. Cukup lama Abi terdiam. Hatinya mencelos
ketika melihat Kirei melempar gelang berbandul lumba-lumba yang dulu pernah ia
berikan. Kenangan itu melintas begitu saja, percakapan beberapa tahun lalu
tiba-tiba terdengar di telinganya.
“Bi, suatu hari nanti kamu pasti pergi.”
“Kamu mau jadi orang yang baik? Cukup setia
aja, aku pernah baca buku, katanya setia adalah pekerjaan baik.”
“Bi, kalau aku minta dibikinin dermaga,
terus bikin resepsi pernikahan berlayar pake kapal pesiar, gimana hayo? Hahaha.”
“Itu masalah gampang. Nih, aku kasih
lumba-lumbanya duluan. Selamat ulang tahun. Tunggu aku.” Abi melingkarkan
gelang berbandul lumba-lumba di pergelangan tangan Kirei.
Abi
mengurungkan niatnya. Ombak kecil yang menghantam kapal pun seolah ikut
menggoyahkan langkah kakinya. Namun ia sadar, bisa jadi ini adalah waktu
terakhir sebelum ia harus benar-benar mengubur semuanya. Abi berhasil
menguatkan hatinya untuk bertemu Kirei. Meski pun ia tak sampai hati karena
setelah itu ia harus pergi.
Komentar
Posting Komentar