Seandainya


NARASI :
Seandainya. Ya. Seandainya. Astaga kata itu terdengar begitu menyebalkan. Takdir. Lalu mau menyalahkan takdir? Takdir memang bertugas membuat kehidupan kita berombak. Ada kalanya naik, ada kalanya surut.  Ada kalanya membuat kita tersenyum, tapi dengan bengisnya takdir membuat kita menangis. Ini adalah tentang bagaimana kita bertahan diantara takdir. Selain takdir, siapa lagi yang mau disalahkan? Waktu? Itu lebih konyol. Intinya, bukan salah tempat, bukan salah waktu, tetapi memang jalan yang harus kita tempuh adalah seperti ini. Berpisah sambil mengais sisa-sisa kerinduan yang terasa begitu berat di pundak.

DIALOG :
                “Aku tidak bisa,” Kedua bola matamu berombak penuh kesedihan. Lantas aku menghela napas dan kurasa serpihan batu berujung runcing melewati kerongkonganku, mendadak napasku tercekat. Aku tertawa amat sumbang. Lelucon macam apa yang diberikan Tuhan.
                “Seandainya saja aku lebih gesit. Aku baru merasakan betapa satu detik begitu berharga. Seandainya aku datang lebih awal, seandainya saja aku paham dengan apa yang kau rasakan sejak dulu, seandainya saja aku kembali lebih cepat satu detik dari lelaki yang besok resmi menjadi pendamping hidupmu. Seandainya...”
                “Cukup! Tak perlu kau berandai-andai. Tak usah menyalahkan takdir. Tak usah menyalahkan satu detik yang kau anggap berharga itu. Waktu sudah menjawab segalanya. Sudah berapa detik kubuang untuk tersenyum sekaligus menangisimu? Pada akhirnya aku menemui titik jenuh dan lelah.” Nada gadis itu melemah. Aku mengerti, bahwa hatinya lebih lelah dari sorot matanya yang sendu.
                Kemudian ia segera menambahkan,”aku akan menikah besok. Kurasa cukup sampai detik ini saja aku menunggumu.”
                Dengan berat hati tangannya terulur menyimpan sebuah surat undangan pernikahan berwarna merah hati.
                “Baiklah jika itu keputusanmu, tapi seandainya saja  kau tau. Rindu ini terlalu berat kupikul sendirian, Sayang.”  Ucapku dalam hati. Sebab sosoknya yang semampai telah hilang ditelan langit malam. Tersapu oleh angin laut yang ikut menyapu permukaan kulitku dan menjalar lantas meremas jantungku. Sakit.







*Oke! Ini tantangan dari @KampusFiksi untuk #NarasiVSDialog hehehe :D semoga suka :D

Komentar