Aku dan (Tanpa) Kamu

"Tidak ada yang salah diantara kita kecuali masa lalu." katamu resah. Aku menunduk dan merasakan betapa pedasnya perkataan tadi hingga kurasa bubuk cabai bertebaran membuat mataku perih.Perlahan aku mendongak dan menatap sosok lelaki jangkung dihadapanku yang akhir-akhir ini begitu rajin datang kedalam mimpiku. Padahal aku sama sekali tak meminta.
Aku berpikir sejenak mengapa tiba-tiba perbincangan kita menjadi serius? Padahal beberapa detik yang lalu kita tertawa.Setelah menyesap kopi yang sudah agak dingin, aku mengerti. Kemarin aku marah karena kamu mementingkan cewek lain.
"Masa lalu katamu?" dengan bodohnya aku bertanya. Lalu untuk menutupi kegugupan, aku mengaduk lagi kopi yang sudah menyusut setengahnya.
 Kamu bergeming.
Detik berikutnya aku tertawa sumbang. Sementara itu kamu menatapku penuh harap. Mungkin kamu berharap aku mengatakan Baiklah, kalau begitu kita akhiri saja? Atau mengatakan Aku benci kamu. Jangan datangi aku lagi? Atau Kita putus?
Aku menelan ludah dan merasakan air liurku terasa begitu pahit. Lantas aku tertawa lagi dalam hati. Putus? Lho? Kita itu tidak pernah berjanji menjadi bagian dari sepasang. Kita hanya dipertemukan oleh luka, lalu mencoba saling mengobati.
"Hey?" kamu menegurku sambil mengadukan sendok dengan cangkir, menimbulkan dentingan yang membawaku kembali dari lamunan.
Entah berapa puluh detik kubuang hanya untuk melamun."Aku mohon kamu mengerti. Aku memang sayang kamu, tapi...."
"Iya aku tahu." meskipun sebenarnya yang kutahu rasa sayang itu tanpa pengecualian.
"Aku senang melihatmu bahagia bersama dia. Kamu tidak usah mengkhawatirkan aku." lanjutku. Lantas aku tersenyum menutupi hatiku yang rapuh. Munafik.
"Terimakasih ya, kamu memang sahabatku yang paliiing baik."
Aku tersenyum kecut. Sahabat? Oh baiklah. Beginikah caramu memaknai semuanya? Kata itu terdengar penuh penekanan. Mengapa baru sekarang kusadari segala bentuk perhatian yang kamu lakukan untukku hanyalah sebatas sahabat? Atau aku yang terlambat menyadari bahwa dulu kamu pernah merasakan hal yang sama denganku? Ah aku baru sadar perempuan itu terlalu perasa, bahkan bisa merasakan sesuatu dengan mengada-ada.
Lalu hening. Ucapan tadi seolah-olah memangkas percakapan yang sejak beberapa jam yang lalu mengalir.Sepulang dari toko buku, kami terjebak hujan dan terdampar di sebuah cafe klasik dengan musik klasik yang aku suka.Dua cangkir kopi menemani perbincangan kita yang tak tentu arah. Kemudian entah bagaimana awalnya laki-laki dihadapanku ini menyerempet pada pembicaraan tentang... hati.
"Kenapa diam saja? Ayo dong cerita, sejak dari awal kita duduk disini kamu tidak kehabisan topik untuk dibicarakan?"
"Maaf, topik savalasnya kan udah meninggal." jawabku sekenanya.
Kamu malah tertawa lantas menyesap kopi dan memandang keluar jendela. Hujan diluar semakin deras. Tak kalah deras dengan darahku yang berdesir amat kencang. Aku tidak suka berada di posisi seperti ini. Seperti orang gila yang pura-pura waras. Menyebalkan.
"Kamu nggak marah sama aku kan?"
Aku hanya melirikmu dengan tatapan menurut kamu?
"Kenapa aku harus marah kepadamu?"
"Mungkin saja... Aku membuatmu kecewa? Atau apapun?"
Nah itu kamu sadar, lalu mengapa kamu tetap melakukannya?
"Yang harusnya aku marahi itu aku sendiri, bukan kamu."
"Maksudmu?"
"Sudah pukul sebelas malam, ayo kita pulang." sahutku.
"Diluar masih hujan."
"Aku nggak peduli." 
"Kamu belum menjawab pertanyaanku?"
"Ah lupakan saja." aku menjawab.
"Oke, oke... Aku nggak bawa jas hujan."
"Kita hujan-hujanan aja."
"Kalau kamu sakit gimana?"
"Aku sudah sakit"...... hati. Jadi kamu tidak usah pura-pura mempedulikan aku. Tambahku dalam hati.
"Oh ya? Maaf aku memintamu mengantarku ke toko buku malam-malam. Kenapa kamu nggak bilang?
Aku cuma menggelengkan kepala dan menyeretmu keluar dari cafe. Mungkin sekaligus menyeret laki-laki polos tak berdosa sepertimu keluar dari kehidupanku.

Komentar