“LELAKI YANG MENGHADAP KE JENDELA”




Satu sampai sembilan. Aku akan memilih kombinasi angka dua dan empat. Dua angka istimewa yang aku sukai. Terutama jika itu menyangkut denganmu.
Aku telah melewati angka satu hingga dua puluh tiga di bulan Januari. Lalu di angka dua puluh empat, aku tersenyum senang, dan di angka dua puluh empat yang ke dua puluh empat, aku menangis.
Mungkin hidup memang sandiwara, dan aku hanya pemeran yang dimainkan oleh takdir. Jika detik ini aku tertawa, mungkin saja detik selanjutnya aku menangis. Ah, aku tidak tahu persis. Yang kutahu adalah hatiku dicuri oleh laki-laki yang lahir tanggal dua puluh empat dihari kedua puluh empat bulan Januari.

***

Bandung, 14° C

Dingin. Sekujur tubuhku meringkuk dibalik selimut tebal. Ini adalah hari terdingin yang pernah kurasakan di Bandung. Bulu-buluku meremang. Angin mulai menggelitik telapak kaki yang menggantung di ujung kasur, memaksaku melipat kaki dan mencoba melanjutkan mimpi yang terhenti. Namun rupanya, aku memang harus segera terbangun karena hari sudah siang.
Mataku tak dapat lagi terpejam dengan tenang. Kelopak mataku perlahan terbuka, lantas aku terduduk di tepi kasur dan membiarkan telapak kakiku mencium lantai seraya berdiam. Hawa dingin dari lantai kayu merambat hingga membuat tubuhku bergidik. Detik berikutnya aku meraih ponsel yang tergeletak di dekat bantal. Rasanya sulit mengharapkan yang tak mungkin. Apalagi mengharapkanmu kembali. Maka aku bergegas menuju kamar mandi dan menggosok gigi.
Teh Iin sedang menyiapkan makanan diatas meja ketika aku menuruni anak tangga. "Ah.. Sudah bangun neng? Teteh sudah menyiapkan sarapan, ayo makan dulu." ucapnya lalu tersenyum sambil mengelap sudut meja.
"Wah.. terimakasih Teh," sahutku kemudian mencomot gorengan yang terhidang. Tak lama kemudian, aku segera berpamitan untuk mengambil gambar di sekitar villa.
Mobilku melaju menuruni jalanan yang sepi. Di sebelah kanan dan kiri tumbuh ilalang yang berjajar rapi. Kabut masih menggumpal diatas gunung. Aku menikmati perjalanan ini. Menikmati setiap jalan yang berkelok, atau merasakan tubuhku teguncang ketika melewati jalan berlubang.
Aku menyadari suasana begitu senyap ketika tersadar dari lamunan. Ujung telunjukku menekan tombol radio, dan lagu When I Was Your Man pun menemani perjalananku yang tak tentu arah. Mobilku menepi di sebuah kafe. Aku mengigil, mungkin saja secangkir kopi panas bisa menghangatkan tubuh.

¤¤¤

Kriiing.

Hiasan dari kerang beradu diudara ketika aku mendorong pintu. Kafe masih nampak sepi. Hanya diisi beberapa orang. Lantas aku melangkahkan kaki ke arah sebuah meja bundar di ujung ruangan.
Pemandangan yang disajikan di luar jendela kaca sungguh menakjubkan. Kanvas langit berwarna kelabu dengan gradasi kabut yang perlahan menuruni gunung. Cukup lama aku terdiam sambil melipat tangan di atas meja. Jemariku yang nyaris beku kedinginan mengetuk-ngetuk meja sambil menikmati detik-detik yang terbuang.
Kemudian perhatianku tersita pada lelaki di seberang yang berdiri membelakangiku sejak beberapa menit yang lalu. Aku tak tahu persis kapan dia datang, dan sejak kapan dia berdiri menghadap jendela sambil menjejalkan tangan ke saku celana. Yang kutahu, ia selalu melakukan hal itu ketika aku mengunjungi kafe ini.
Tidak pernah ada percakapan, maupun sapaan. Hanya terkadang mataku yang nakal melirik lelaki itu ketika ia sedang membaca buku. Atau bibirku yang gatal, menyunggingkan seulas senyum saat kami berpapasan waktu aku hendak pulang. Ajaibnya lelaki itu hanya melirikku tak lebih dari dua detik. Menyebalkan!
Aku merogoh ponsel dari saku celana. Jam menunjukkan angka 13.00. Sudah memasuki waktu makan siang. Aku masih terpaku tanpa makanan terhidang. Kupanggil seorang pelayan dan memesan secangkir  kopi panas untuk menemani siangku yang terasa sangat dingin.

Tak lama kemudian pelayan kembali bersama nampan berisi minuman yang kupesan. "Selamat menikmati," katanya ramah lantas meninggalkanku lagi.
Aku meraih cangkir putih yang diatasnya masih mengepul asap tipis. Kutiup asap itu perlahan membuatnya terbang berhamburan. Lalu ketika bibirku hendak menyentuh tepi cangkir, aku dikagetkan oleh seorang lelaki yang tiba-tiba berdiri di hadapanku. Aku harus puas dengan hanya menghirup aroma kopi saja, tapi akhirnya aku dapat melihat raut wajahnya dengan jelas.
Aku mendongak ketika ia berdeham. Sial! aku terhipnotis oleh mata hazel yang begitu memikat. Aku terdiam, tapi mataku mengisyaratkan kata ada apa? Rupanya ia cukup menatap mataku sedetik untuk mengartikan kalimat yang tersusun dibenakku. Maka ia berkata, "Bolehkah aku duduk disini?"
Aku menarik napas dan mengibaskan rambutku yang tergerai menuruni bahu. Bersamaan dengan itu kata-kata yang sudah kusiapkan di dalam otak menguap entah kemana. Aku hanya tersenyum, menyeruput seteguk kopi, dan mengangguk pelan. Aku merasakan jantungku berdegup kencang hingga getarannya merambat naik membuat pipiku yang tirus merona.
Terdengar suara kaki kursi beradu dengan lantai ketika kursi digeser. Kemudian lelaki itu duduk dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Aku masih terdiam dan merasakan sisa-sisa kopi yang kecut didalam mulut. Lalu kusimpan lagi cangkir dan membuang muka ke luar jendela.
"Kulihat kau sering mengunjungi kafe ini?" katanya membuat kepalaku berputar untuk melihatnya.
Oh! Ternyata selama ini dia menyadari kehadiranku.
"Hm-mm. Aku memiliki villa di atas bukit. Satu minggu sekali aku mengunjungi villa setelah penat dengan tugas akhir kuliah. Ini kafe terdekat, menurutku." jawabku. Diam-diam mataku menyalin setiap lekuk wajahnya. Rahangnya yang kokoh, dagunya yang tegas dengan dua garis bibir tipis yang menggoda, mata yang memikat, kedipan matanya yang begitu indah. Kombinasi antara garis keturunan Arab dan Eropa yang sempurna, kurasa.
"Oh.. Kenalkan...Aku David." dia mengulurkan tangannya.
"Hey?" tegurnya.
"Oh.. Iya. Vina..." kujabat tangannya, dan mata kami beradu.
Sesederhana itu kami berkenalan. Meskipun kami menghabiskan waktu berjam-jam di meja yang sama, tapi hanya sedikit perbincangan. Selebihnya diam dan membiarkan alunan musik menenggelamkan pikiran masing-masing.
"Vin... Maaf aku harus pergi. Aku harus mengecek kinerja pegawai di kitchen." David melirik jam tangannya, aku mengulum senyum
"Ya..." sudut bibirku mengambang.
"Baiklah. Senang berkenalan denganmu, sampai bertemu lagi nanti." ia bangkit dari kursinya lantas melengos meninggalkan mejaku. Aku masih tersenyum, bahkan ketika hanya menatap punggungnya yang menjauh kemudian menghilang dibalik pintu.
Kuambil ponsel dan kulihat waktu. 24 Januari 2009, pukul 15.04. Aku tidak akan melupakan hari ini. Aku tersenyum lagi dan mengunci layar ponsel. Detik selanjutnya aku menyesap kopi yang sudah dingin.
Seorang pelayan menghampiriku.
"Maaf, ada pesan dari Pak David." ia menyodorkan secarik kertas dan bolpoint. Aku segera membuka lipatan kertas itu.

Aku ingin berteman denganmu. Bolehkah aku meminta nomor ponselmu?

Apa bedanya takdir dan kebetulan? Aku masih memikirkan hal itu ketika setelah kesekian kalinya aku bertemu David secara tak sengaja. Setiap kali aku mengunjungi kafe itu, pada saat itu pula aku menemukan David. Entah sedang membaca buku, membaca koran sambil merokok, atau sekedar mematung sambil menghadap ke jendela.
Kebetulan-kebetulan itu malah membuat kami merencanakan pertemuan yang disengaja. Secara terang-terangan David mengajakku makan malam, atau menonton film. Hingga perasaan yang menjalari setiap sudut hati masing-masing menemui titik temu, dan kita bersatu.
Tanggal 24 Januari 2010, David menyatakan perasaanya kepadaku. Di meja bundar sudut ruangan kafe, pada malam hari yang diguyur gerimis, dan diiringi lagu yang begitu romantis. Benakku menyalin kejadian itu dengan baik sehingga kenangan itu begitu melekat di hatiku.



¤¤¤

Kriiing.

Hiasan dari kerang beradu diudara ketika aku mendorong pintu. Kafe masih nampak sepi. Hanya diisi beberapa orang. Lantas aku melangkahkan kaki ke arah sebuah meja bundar di ujung ruangan.
Pemandangan yang disajikan di luar jendela kaca sungguh menakjubkan. Kanvas langit berwarna kelabu dengan gradasi kabut yang perlahan menuruni gunung. Cukup lama aku terdiam sambil melipat tangan di atas meja. Jemariku yang nyaris beku kedinginan mengetuk-ngetuk meja sambil menikmati detik-detik yang terbuang.
Kemudian perhatianku tersita pada lelaki di seberang yang berdiri membelakangiku sejak beberapa menit yang lalu. Ah! Lelaki bermata hazel! Aku menatap punggung yang sedang membelakangiku. Mengikuti arah tatapannya. Pada sebuah gunung yang diselimuti kabut.
Lalu mataku menatap punggung itu lagi. Ingin rasanya aku mendekat lantas memeluk tubuhnya. Mengacak rambutnya yang mulai gondrong. Mencium bahunya dengan parfum khas bercampur dengan keringat. Betapa aku merindukan semua tentangnya.
Aku mengambil kamera dan memotret lelaki itu. Namun yang kudapat hanya sebuah jendela kaca yang besar, dengan bulir-bulir embun menetes di permukaan kaca, mengaburkan pemandangan sendu yang ada di luar.

¤¤¤

"Aku harus pergi, Vin. Percayalah aku pasti kembali."

"Kenapa harus Inggris? Kamu bisa bikin bisnis di Jakarta, kan?"

"Tapi ini lain Vin. Aku melanjutkan bisnis keluarga. Tenanglah. Aku sayang kamu. 24 Januari aku pulang. Sekalian merayakan ulang tahunku dan anniversary."

"Tapi David..."

"Tenanglah, aku pasti kembali."

24 Januari 2011

Pesawat yang membawa penumpang dari London menuju Indonesia jatuh di perairan Ambalat. Kecelakaan ini menewaskan 180 orang. 20 orang diantaranya adalah orang Indonesia.

"David...." aku tak kuasa menahan air mata.

TAMAT

Deskripsi Fisik :

Lucy Hale sebagai Vina

Zayn Malik sebagai David


Komentar